Kepolisian Inggris telah menyita aset kripto senilai US$250 juta (sekitar Rp3,6 triliun) sebagai bagian dari penyelidikan kasus pencucian uang.
Kepolisian Metropolitan London mengumumkan pada Selasa (13/07/2021), penyitaan tersebut adalah salah satu yang terbesar di dunia dan memecahkan rekor yang diraih kepolisian satu bulan lalu.
Penyitaan itu menyusul kasus sebelumnya yang berhasil menyita aset kripto senilai US$160 juta tiga pekan lalu.
Kedua kasus ini merupakan bagian penyelidikan berlanjut oleh Komando Kriminal Ekonomi Kepolisian London terhadap pencucian uang berskala internasional.
Sebelumnya, seorang wanita berusia 39 tahun ditahan atas dasar dugaan pelanggaran pencucian uang pada 24 Juni.
Dalam kasus ini, disita sejumlah aset kripto dan wanita tersebut kemudian dilepas dengan jaminan.
Wanita ini diinterogasi ulang pekan lalu dengan lebih hati-hati setelah ada penemuan baru terkait kasus pencucian uang. Tersangka wanita tersebut dilepas dengan jaminan hingga akhir Juli.
Detektif Joe Ryan berkata penyitaan itu adalah pencapaian penting dalam penyelidikan yang akan berlangsung selama berbulan-bulan ke depan seiring kepolisian mendekat ke pusat operasi pencucian uang.
Kepolisian London tidak mengungkap aset kripto apa saja yang termasuk dalam sitaan.
Aset kripto diperdagangkan secara digital, anonim, memiliki hambatan masuk yang rendah, mudah digunakan dan bersifat internasional sehingga menjadi prospek menarik bagi sejumlah pelaku kejahatan.
Kendati sebagian besar transaksi kripto adalah sah, kemunculan tindak kriminal finansial terkait aset kripto menjadi pendorong bagi regulator di seluruh dunia untuk memperketat keamanan aset digital.
Dengan bertumbuhnya permintaan akan layanan kripto yang didorong peningkatan nilai aset kripto selama pandemi COVID-19, banyak lembaga keuangan besar memasuki sektor kripto, termasuk JPMorgan, BNY Mellon, Morgan Stanley dan BlackRock.
Kendati demikian, ketidakjelasan regulasi menghambat penerimaan massal dan konsumen menjadi tidak terlindungi.
Pencucian uang adalah poin yang sering diungkit regulator, selain penipuan pajak, terorisme dan narkoba.
Aset digital juga merupakan alat pembayaran pilihan bagi peretas ransomware. Hal ini mendorong regulator untuk meningkatkan pengawasan.
Asisten Deputi Graham McNulty menjelaskan, meski hasil tindak kriminal dicuci dengan berbagai cara, organisasi kriminal semakin memakai aset kripto untuk mencuci uang kotor mereka. Kripto banyak dipakai, tetapi uang tunai masih menjadi raja di dunia kriminal, pungkas McNulty. [forbes.com/ed]