Sejumlah kelompok peduli kemanusiaan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mulai mengandalkan teknologi blockchain untuk membantu dan memberdayakan pengungsi, seperti dilansir Bitcoinist, Rabu (26/09). PBB memperkirakan jumlah kaum marjinal di seluruh dunia lebih dari 68 juta jiwa. Sekitar 25 juta jiwa dari mereka adalah pengungsi.
Banyak badan internasional dan kelompok kemanusiaan telah lama berusaha memberikan bantuan kepada korban kekerasan, perang atau konflik lainnya. Tetapi, mereka menghadapi sejumlah tantangan, karena kaum marjinal kerap berpindah-pindah tanpa dokumen identitas yang lengkap. Di sinilah teknologi blockchain dianggap dapat berperan untuk memastikan identitas para pengungsi, serta mempermudah proses pemberian bantuan.
Organisasi-organisasi tersebut mencoba memakai blockchain untuk menciptakan solusi identitas digital yang bisa mengurangi pemalsuan identitas, serta memastikan kaum marjinal yang melintasi batas daerah masih bisa mengajukan izin kerja dan permohonan perlindungan.
World Food Programme (WFP) PBB saat ini menguji blockchain melalui program Building Blocks. Uji coba yang dimulai tahun lalu dengan 100 orang di Pakistan itu, kini melibatkan 100 ribu orang di Yordania untuk membantu melacak pasokan makanan. WFP meggunakan blockchain untuk mendapat data tentang berapa banyak makanan yang dibutuhkan pengungsi di Yordania, dan berapa banyak yang harus dibayar ke vendor makanan.
Building Blocks diharapkan mampu menghemat anggaran WFP hingga US$150 ribu per di Yordania, karena tidak harus membayar biaya administrasi bank. Secara keseluruhan, banyak pihak berpikir program tersebut dapat diperluas untuk menyimpan informasi mengenai catatan vaksinasi serta alamat pengungsi.
Para pendukung blockchain di komunitas sosial kemanusiaan menekankan sifat terdistribusi dari blockchain cocok untuk kaum marjinal yang tidak memiliki kewarganegaraan. Orang yang masuk di kamp pengungsi PBB diberikan dokumen identitas, tetapi identitas ini tidak bisa digunakan lagi saat orang itu pergi.
Blockchain dapat berfungsi sebagai catatan permanen untuk identitas tersebut, sehingga orang yang memilikinya dapat membawanya ke daerah atau negara baru setelah mereka meninggalkan kamp pengungsi.
Selama beberapa tahun terakhir, Layanan Imigrasi Finlandia memberikan kartu Mastercard pra-bayar kepada pengungsi jika mereka tidak memiliki rekening bank. Kartu Mastercard yang dikembangkan MONI tersebut, terhubung dengan identitas digital yang tersimpan di blockchain.
Berkat blockchain, kaum marjinal dan pengungsi kini memiliki rekening terverifikasi yang bisa dipakai untuk menerima deposit dan membayar tagihan. Otoritas Finlandia bisa meninjau data transaksi untuk melacak bagaimana dan di mana para pemegang kartu membelanjakan uang mereka.
Sistem ini membantu mengurangi penggunaan uang bantuan secara ilegal, sehingga berpotensi menarik lebih banyak pemberi sumbangan. Kepala teknologi WFP Houman Haddad berkata kepada Financial Times, bahwa negara yang memberikan sumbangan turut mendukung sistem identifikasi menggunakan teknologi terkini, demi mengurangi kasus penipuan yang terjadi. [ed]