Teknologi blockhain kian popular. Tetapi masih ada kesalahpahaman soal teknologi ini. Blockchain kerap disamakan dengan cryptocurrency (kripto). Kripto pun bagi masyarakat pada umumnya disamakan dengan Bitcoin. Celakanya, kripto pun dianggap sebagai tempat transaksi aktivitas ilegal seperti pencucian uang, transaksi narkoba dan pembiayan terorisme. Padahal, dengan uang biasa sekalipun, aktivitas itu juga lebih banyak terjadi.
Kendati blockchain dan kripto saling berkaitan, tetapi keduanya tidalah sama. Blockchain adalah teknologi yang menjadi tulang punggung (backbone) dari kripto. Dan kripto adalah salah satu dari aplikasi atau penerapan teknologi blockchain (usecase) atau sebagai aspek imbalan (reward) di dalam sistem blockchain. Aplikasi blockchain juga sangat terbuka untuk berbagai sektor, seperti perbankan, ekspor impor, logistik, pertanahan, perpajakan, hak cipta dan sebagainya. Atau dengan kata lain, teknologi blockchain dapat berlangsung tanpa kehadiran kripto, token, koin dan sejenis aspek insentifnya.
Potensi yang luas blockchain ini rupanya sudah disadari pemerintah Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan sedang mencoba menerapkan teknologi ini pada perpajakan, transaksi pertanahan dan Proyek Satu Data.
“Pemerintah sangat mendukung teknologi blockchain, karena ada banyak kemudahan di sana, ada banyak kepastian di sana, sehingga teknologi ini perlu didukung,” ujar Riki Arif Gunawan, Direktur Keamanan Informasi Kementerian Kominfo kepada Blockchainmedia.id, beberapa waktu lalu.
Riki mengatakan aplikasi teknologi blockchain di pemerintahan memang masih dalam tahap ujicoba dan kelak akan diterapkan bidang-bidang yang membutuhkan kepastian data bagi masyarakat.
Contohnya untuk bidang perizinan pertanahan. Dengan teknologi blockchain, masyarakat dapat mengetahui apakah memang benar perizinan yang dimaksud memang sudah dikeluarkan. Dengan ponselnya, masyarakat dapat memastikan keabsahan data tersebut, karena setiap data yang terekam di blockchain bersifat permanen. Kendati bisa dilakukan perubahan atas data sebelumnya, riwayat perubahannya sendiri dengan mudah dilacak, karena data transaksi disusun secara kronologis.
“Semua transaksi elektronik yang membutuhkan kepastian yang tinggi harus didorong menggunakan teknologi blockchain, supaya pemerintah bisa lebih dipercaya,” ujarnya.
Riki mengatakan tantangan yang dihadapi dalam menerapkan teknologi ini pada pemerintahan adalah soal kesadaran di tingkat pengambil kebijakan.
“Upaya meningkatkan kesadaran itu harus terus dilakukan. Karena dengan kita tidak tahu apa isinya, biasanya muncul rasa takut untuk mengambil keputusan, takut untuk mengadopsi teknologi blockhain ini secara penuh,” ujarnya.
Riki mengungkapkan, ada pemahaman keliru yang berkembang di masyarakat, bahwa blockchain dapat menghilangkan fungsi pemerintahan atau membuat pemerintahan tidak perlu lagi. Padahal menurut dia, justru sebaliknya, dengan adanya blockhain pemerintah menjadi sangat dipercaya, sebab memiliki database yang tidak bisa diubah-ubah.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) juga sedang mengkaji penggunaan teknologi blockchain dalam ekosistem musik dan penciptaan lagu di Indonesia. Muhammad Neil El Himan, Direktur Fasilitas Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi Bekraf mengatakan saat ini Bekraf sedang membuat kajian yang nanti hasilnya adalah database tunggal untuk musik Indonesia, mulai dari pencipta lagu, penyanyinya, termasuk pemain musiknya.
“Nanti setiap Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) akan tersambung ke sistem itu, ketika mereka hendak mengumpulkan dan membagikan royalti,” ujarnya.
Dalam kajian ini, menurut dia, Bekraf juga mengkaji pemanfatan teknologi blockchain untuk menyimpan database musik tersebut.
“Saya sendiri yakin, teknologi blockchain bisa digunakan dalam ekosistem musik ini. Jika blockchain berhasil diterapkan dalam menyimpan database musik, selanjutnya bisa diterapkan pada industri film dan fotografi. Kalau terwujud, ini bisa jadi usecase bagi yang lain, seperti film karena selama ini banyak terjadi pembajakan film,” ujarnya.
Imron Zuhri, Chief Technology Officer (CTO) Hara, mengatakan terapan blockchain di pemerintahan sebenarnya sangat tergantung pada political will pemerintah sendiri, terutama soal transparansi dan desentralisasi database.
“Saya pikir ini bukankah masalah teknis semata. Juga bukan masalah blockchain, tetapi keinginan pemerintah Indonesia itu sejauh mana,” ujarnya.
Menurut Imron, pelaku industri blockchain Indonesia memang perlu terus berdialog dengan pemerintah soal pemanfaatan teknologi ini. Karena ini basic fundamental protocol, serupa dengan TCP (Transmission Control Protocol) di Internet.
“Cepat atau lambat, ini akan diadopsi oleh semua orang dan kita harus siap-siap untuk itu,” ujarnya. [jul]