Ketika Bitcoin Karam di Pikiranmu

Bitcoin sangat sulit dipahami jikalau kita tidak memahami cara kerja uang dan bank. Orang awam memahami uang rupiah adalah sebagai alat pembayaran yang sah. Tetapi, tidak sedikit yang tidak mampu menjawab pertanyaan ini: Jikalau uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah, maka ia dianggap memiliki nilai (value). Lantas mengapa uang rupiah bisa memiliki nilai? Bitcoin naik tinggi hingga Rp300 juta, apakah itu bermakna ia memiliki nilai? Bagi kami, tak memahami mekanisme dasar uang adalah awal Bitcoin karam di pikiran Anda sendiri.

Pertanyaan itu saya ajukan kepada seorang mahasiswa di Medan, di sebuah acara seminar belum lama ini. Mahasiswa itu hanya diam, tak mampu menjawab. Mungkin banyak jawaban dugaan di dalam hatinya, namun tak keluar dari mulutnya. Sejurus kemudian, temannya yang di belakang menimpali, mencoba menjawab: Uang rupiah memiliki nilai karena memang dinyatakan sah oleh Bank Indonesia sebagai alat pembayaran di Indonesia. Di uang kertas misalnya, tertera tanda tangan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Itulah sebabnya uang rupiah bernilai.

Di beberapa segi jawaban itu sangatlah benar. Uang atau segala jenis objek bisa memiliki nilai, karena ada satu “kesepakatan penggunaan” terhadapnya. Sederhana, sejatinya begitu.

Konsensus sosial terhadap emas misalnya. Emas sebagai objek bernilai misalnya, karena manusia bersepakat terhadap segala keunggulannya berbanding dengan jenis mineral lainnya, termasuk dibandingkan dengan uang. Emas tidak berkarat, mudah dibawa ke mana pun, mudah ditukar dengan uang rupiah, diterima secara global di belahan negara manapun, jumlahnya langka, dan mudah dibeli dan dijual kapan dan di mana saja. Atas pengertian “kemurnian”, itu ada pada emas. Itulah sebabnya kita menyebut emas sebagai logam mulia.

Emas lebih tua daripada usia peradaban manusia itu sendiri, yang dibentuk oleh alam di perut bumi sebagai hasil mahakarya Tuhan. Emas jelas tak dapat diciptakan oleh manusia sendiri, karena berasal dari alam. Manusia hanya berperan menambangnya, lalu menjualnya sebagai aset bernilai. Kedua hal itu adalah aspek pembentuk nilai istimewa terhadap emas: datang dari alam oleh Tuhan dan perlu kerja keras untuk menambangnya dari perut bumi.

Pure gold ore found in the mine is in the hand Premium Photo

Konsensus sosial terhadap emas pun terbentuk selama ribuan tahun, jauh sebelum manusia mengenal abjad, dan sempat digunakan sebagai standar pembayaran barang dan jasa di masa lalu. Saking bernilainya emas dan disukai rakyat, maka raja-raja mencoba mengambil alih itu, menguasai emas dan membatasi peredarannya di masyarakat. Pembatasan melalui peraturan oleh pihak berkuasa adalah aspek coersif (memaksa) terhadap pihak yang lemah (subordinasi).

Apakah pembatasan peredaran emas juga menyumbangkan tambahan nilai terhadap emas? Iya, karena penguasa, pengusaha dan bank menyukainya. Nilai emas dalam konteks ini jelas tak “alamiah”, karena bersinggungan dengan hasrat terendah manusia: serakah. Dalam hal ini emas itu berbeda. Perlu pemisahan makna atas nilainya.

Sejak tahun 1971, uang dolar Amerika Serikat (istilah aslinya adalah bank note) tak lagi dipatok dengan jumlah simpanan emas yang langka itu. Dulu uang kertas sejatinya adalah sejenis “sertifikat” atau “surat perjanjian” tertulis yang menjamin bahwa Anda memiliki emas fisik di bank dan bisa diklaim kembali menjadi emas. Karena mata uang negara lain berpatok pada yang dolar AS, maka mata uang negara sejatinya pun tak bernilai.

Image result for 1971 nixon no gold

Peredaran uang hanya diasaskan pada kebijakan negara, dalam hal ini adalah bank sentral berkolaborasi dengan kementerian keuangan dan bank. Karena uang dolar AS dan semua uang modern sejak tahun 1972 tak lagi “linked” dengan emas, maka uang sejatinya tidak memiliki nilai intrinsik dan rentan terhadap inflasi. Uang modern murni hanya bersandarkan pada hukum permintaan dan penawaran. Semakin banyak uang dolar digunakan untuk perdagangan, maka uang dolar semakin tinggi nilai tukarnya. Namun, ketiadaan komoditas fisik di belakangnya, uang dolar dan rupiah sejatinya tak bernilai.

Semakin banyak jumlah uang yang beredar, maka uang semakin tak bernilai. Uang tak memiliki underlying value utama, yakni kelangkaan sejati. Karena uang didasarkan pada kebijakan negara (bank sentral dan kementerian keuangan), ia disebut fiat money. Fiat (bahasa Latin) yang berarti: let it be done.

Dalam “praktik fiat” itu, maka uang dibangun dengan “prinsip utang”: Uang tercipta hanya ketika ada bunga (interest) dalam mekanisme meminjam dan dipinjam. Uang yang Anda simpan di bank, bank mempunyai hak atas nama hukum dan peraturan untuk meminjamkan sebagian besar uang Anda itu kepada pihak lain. Ketika pihak itu mengembalikan pokok pinjaman beserta bunganya (lunas), maka bunga itulah uang baru yang tercipta dan diserap pasar (baik dalam bentuk uang kertas dan logam bahkan uang elektronik yang jamak digunakan saat ini). Itu terjadi seterusnya dalam sebuah siklus tiada henti.

Lah, bukankah ketika saya memeriksa buku rekening saya, uangnya masih tercatat? Iya, hanya tercatat, tetapi sudah dipindahkan ke pihak lain. Lah, bukankah saya bisa menarik uang saya itu secara tunai? Iya, memang bisa. Memang itu prinsip kerjanya. Uang tunai yang Anda tarik adalah uang baru hasil utang sebelumnya.

Nah, dalam situasi krisis moneter dan Anda dan sejumlah orang banyak perlu uang tunai, apakah bank mengizinkan Anda mengambilnya? Tidak. Tidak melalui teller, tidak juga melalui ATM, karena uang Anda berada di pihak lain, yang meminjam uang tapi gagal mengembalikan pokok berikut bunganya. Di sini apa yang dilakukan oleh bank sentral? Ya, cukup menerbitkan uang lagi. Mudah, tetapi justru menambah peredaran uang di masyarakat, sekaligus meningkatkan inflasi, harga barang-barang pun naik, karena produksi barang tidak berjalan.

Di situasi tak berkesudahan seperti inilah teknologi mengambil perannya sekali lagi. Dalam era uang kertas, teknologi mesin cetaklah yang berperan besar. Berterima kasihlah kepada sang penemunya, Johannes Guttenberg.

Lalu, ketika teknologi komputer cloud semakin perkasa, ia berperan menciptakan wujud uang elektronik terhadap uang fiat itu, sehingga ia lebih mudah dan mudah dikirimkan. Mencetak uang kertas atau logam tentu mahal, belum lagi biaya kirim ke daerah lain. Maka, tidaklah heran pemerintah menggalakkan kampanye uang elektronik itu atas nama efisiensi.

Di sinilah semakin mudah uang itu “diterbitkan”, ketika Anda ingin berutang ke bank, pihak bank cukup mengetikkan angkanya di rekening Anda. Mau berapa dan ini besaran bunga yang harus Anda kembalikan.

Dengan pengayaan elektronik ini pula, semakin mudahlah penguasa mengawasi aktivitas keuangan Anda, sekaligus mencerminkan aktivitas sosial Anda. Jikalau penguasanya “baik” (yang mana mustahil terjadi), tidak masalah. Tetapi bagaimana jikalau orang di balik kekuasaan itu korup? Krisis kepercayaan pun terjadi, menyusul krisis keuangan di kemudian hari.

Bitcoin di Tengah Kekacauan Ekonomi
Bitcoin berada di tengah-tengah arus perubahan itu. Ia dilahirkan oleh Satoshi Nakamoto di tengah-tengah kekacauan ekonomi global pada tahun 2008. Ia menciptakan aset (ia menyebutnya sistem uang elektronik peer-to-peer) yang mengimitasi karakteristik emas: langka, jumlah sangat terbatas, diterbitkan secara periodik, mudah ditransfer melalui Internet, tidak dikuasai negara atau entitas tunggal yang mendominasi sistem. Tak lupa ia mengimitasi proses penambangan (mining) emas, di mana hanya kekuatan komputasi yang besarlah yang berpeluang besar mendapatkan imbalan berupa Bitcoin yang baru. Itulah mata uang digital sesungguhnya.

Untuk menegaskan keunggulannya, Satoshi tak lupa menetapkan sistemnya haruslah desentralistik dan terbuka, di mana data transaksi adalah identik di setiap komputer yang berbeda dan setiap orang bisa melihat arus transaksinya. Di saat yang sama, sistemnya pun jauh lebih aman.

Untuk mengatasi peretasan, data transaksi yang berjalan periodik per 10 menit disimpan dalam “blok”. Setiap blok menyimpan data identitas blok sebelumnya dan selanjutnya seperti itu secara kronologis.

Dan itu memang adalah syarat yang mutlak agar sistem uang elektronik lebih unggul. Jikalau mekanisme tetaplah sentralistik, maka tidak ada simulasi kelangkaan, tidak ada nilai dan tak ada keistimewaan. Lalu, sulit tak berdecak kagum adalah keutamaan sifat blockchain khususnya Bitcoin, yakni kekekalan data. Sekali Anda menyimpan data di blockchain, maka ia tersimpan selamanya, tak dapat dihapus. Ia abadi.

Kendati Satoshi Nakamoto menggunakan sejumlah teknologi yang pernah ada sebelumnya, nyatanya Bitcoin memang diakui berteknologi unggul yang belum pernah ada sebelumnya selama peradaban manusia ada. Yang jelas Satoshi sukses meracik itu semua dengan rincian “resep masakan” yang terbuka.

Unggul tatkala ekonomi melembek
Berdasarkan penelitian Grayscale terbaru, untuk menandai besaran krisis, dapat mengacu pada  derajat liquidity risk (resiko sejumlah aset turun besar berbanding harga belinya). Salah satu komponen untuk mengukurnya adalah besaran utang dalam sistem keuangan. Grayscale mengacu pada rasio utang global tahun 2018, yang sudah mencapai US$250 triliun dan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 300 persen. Jelas Grayscale, kendati volatilitas mengecil pada beberapa tahun belakang, namun resiko likuiditasnya masih tinggi.

Nah, bagaimana performa Bitcoin terhadap resiko likuiditas aset-aset lain? Grayscale mengambil 5 contoh terbaik berikut ini.

Utang Tinggi Yunani
Peristiwa ditutupnya semua bank di Yunani selama 3 minggu pada tahun 2015, gara-gara semakin banyak warga Yunani yang menarik uang secara tunai. Hal itu disebabkan Pemerintah Yunani gagal membayar utang luar negerinya, ditambah isu Yunani ingin keluar dari Uni Eropa. Kekacaubalauan terjadi hingga tiga bulan lamanya. Ketika sebagian besar harga indeks saham dan mata uang ikut merosot, Bitcoin malah mampu cetak untung hingga 28 persen pada periode 20 April-10 Juli 2015. Sedangkan aset lainnya rata-rata minus 1,7 persen. Bitcoin hanya bersaing dengan poundsterling dengan raihan 4,1 persen.

Yuan Dilemahkan Sang Tuan
Pada Agustus 2015-Desember 2016, Bank Sentral Tiongkok memutuskan memotong suku bunga acuannya sebesar 1,9 persen. Tapi investor pasar modal di negeri itu sudah keburu menjual aset-aset berisikonya. Pada periode 20 Agustus 2015-20 Januari 2016, Bitcoin memberikan imbal hasil hingga 53 persen (10 Agustus-20 Januari 2016). Sedangkan kelas aset lainnya rata-rata minus 10 persen. Hingga Desember 2016 pula nilai mata uang yuan melemah hingga 11 persen terhadap dolar AS. Inilah pendorong pembelian Bitcoin untuk melindungi nilai uangnya.

Gerimis “Brexit” di Inggris
Pada 24 Juni 2016 Inggris membuat dunia terperanjat, ketika hasil referendum menunjukkan bahwa rakyat Inggris ingin terpisah dengan Uni Eropa (Brexit). Satu hari setelah pengumuman itu, harga poundsterling ambruk hingga minus 8,1 persen dan euro jatuh tak terbendung hingga minus 2,4 persen. Sementara itu Bitcoin bullish dengan imbal hasil hingga 7,1 persen. Bitcoin hanya bersaing ketat dengan Indeks harga emas COMEX, yakni 4,7 persen dan yen 3,9 persen. Hingga akhir tahun 2016, poundsterling dan euro terus melemah.

Jelaslah Bitcoin merupakan antitesis dari uang fiat yang tak memiliki nilai itu. Satoshi pun sangat berpihak pada karakter emas dan berhasil membuat sistem elektronik yang meniru mekanisme “kelangkaan” sebuah objek fisik. Minat terhadap kelangkaan dan kemudahan transaksi sebuah aset adalah pula minat alamiah manusia. Maka, tidaklah heran Bitcoin semakin diminati oleh kalangan pribadi dan institusi.

Di atas itu semua, jikalau krisis ekonomi global akan datang dalam waktu dekat atau mungkin seperti yang diprediksi oleh sejumlah pihak ia datang pada tahun 2020, maka ini adalah pertaruhan besar terhadap Bitcoin, apakah harganya akan naik atau sebaliknya.

Ingat, Bitcoin memang unggul ketika ekonomi mengempis di skala kecil, seperti yang ditunjukkan dari penelitian Grayscale. Tetapi, Bitcoin belum merasakan gelombang parah ekonomi berskala global, kendati lahir pada tahun 2008, era krisis yang sangat parah. Era tahun 2008-2009 adalah masa-masa pengenalan Bitcoin, lahir di masa yang tepat, seolah-olah mengingatkan manusia akan krisis berikutnya. [red]

Terkini

Warta Korporat

Terkait