Ketua CFTC (Commodity Futures Trading Commission) AS, Rostin Behnam mengatakan bahwa satu-satunya crypto yang harus dianggap sebagai komoditas adalah Bitcoin (BTC).
Melansir Watcher.Guru, pernyataan Behnam yang diutarakan dalam sebuah event khusus kripto di Universitas Princeton, sontak mendapat sambutan riuh komunitas crypto.
Bahkan Bitcoin maximalist, Michael Saylor dengan lekas membagikan berita tersebut di akun Twitter-nya.
Status BTC sebagai komoditas masih diperdebatkan di antara agensi, investor, dan pengguna. Penyebab utama ialah tidak adanya regulasi yang tegas mengatur apakah berbagai cryptocurrency harus dikategorikan sebagai komoditas atau sekuritas.
Dalam pernyataan di laman blog baru-baru ini, Bank Sentral Erop (ECB) mengatakan bahwa Bitcoin bukanlah komoditas.
ECB beralasan, BTC tidak menghasilkan arus kas (seperti real estate) atau dividen (seperti ekuitas), tidak dapat digunakan secara produktif (seperti komoditas) atau memberikan manfaat sosial (seperti emas).
Di Amerika Serikat, otoritas Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) dan CFTC masih belum sepakat mengenai definisi cryptocurrency seperti Bitcoin dan Ethereum.
Tatkala menyampaikan pendapatnya di Princeton, Behnam turut menekankan perlunya undang-undang dan risiko yang terkait dengan sektor crypto yang tidak diatur.
Hanya saja, pernyataan Behnam tenta BTC itu, kini mengindikasikan perubahan sikap CFTC setelah sebelumnya mengatakan bahwa Ethereum (ETH) juga merupakan komoditas.
Melansir Cryptopotato, Behnam mengatakan pihaknya tengah berupaya memperluas cakupan otoritas untuk mengatur pasar komoditas digital, melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen Komoditas Digital (DCCPA).
Dia menyampaikan usulan RUU tersebut telah disampaikan pada Agustus lalu, dan optimis memandangnya sebagai langkah maju yang besar.
Sebelumnya, Benham secara terbuka menyatakan ketidaksetujuan dengan ketua Securities and Exchange Commission (SEC) Gary Gensler mengenai masalah tersebut.
Gensler sendiri tidak banyak bicara ketika berbicara tentang status sekuritas kripto lainnya, tetapi telah berkali-kali mengisyaratkan bahwa sebagian besar aset digital, termasuk stablecoin, kemungkinan adalah sekuritas.
Sesuai kesepakatan kongres Amerika Serikat (AS), Commodity Futures Trading Commission (CFTC) dibentuk pada tahun 1974 sebagai lembaga independen dengan mandat mengatur komoditas berjangka dan pasar opsi di Amerika Serikat. Mandat lembaga ini telah diperbaharui dan diperluas beberapa kali.
Subjudul: Di Indonesia, Crypto adalah Komoditi (Aset Kripto)
Melansir buletin Bappebti edisi 204, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan aset kripto menjadi salah satu bentuk komoditi yang bisa diperdagangkan di bursa berjangka.
Menteri Perdagangan pada tanggal 2 Oktober 2018 sudah mengeluarkan keputusan tentang aset kripto semacam Bitcoin atau Ethereum bisa ditransaksikan di lantai bursa berjangka, yakni Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) dan BKDI (Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia).
Menyusul keputusan Menteri Perdagangan tersebut, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), pada 8 Februari 2019, menerbitkan Peraturan Bappebti tentang aset kripto di mana penjelasan mengenai komoditi baru ini diatur lebih rinci.
“Crypto Asset yang selanjutnya disebut Aset Kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain,” terang Kepala Bappebti, Indrasari Wisnu Wardhana, dikutip dalam buletin tersebut.
Pemerintah Indonesia berharap kebijakan ini mendorong perdagangan aset kripto berkembang dan memberi kontribusi yang positif terhadap perdagangan berjangka di Indonesia
Masyarakat Indonesia khususnya mereka yang bergiat di bisnis perdagangan berjangka menyambut positif dikeluarkannya peraturan pemerintah mengenai aset kripto.
Sebagaimana diberitakan, dalam survei tingkat adopsi aset kripto dunia tahun 2020 yang diterbitkan Chainalysis, Indonesia berada di peringkat ke-32 soal adopsi aset kripto. Data itu dikumpulkan Juli 2019-Juni 2020.
Menurut Indrasari, asas dibuatnya kebijakan ini karena beberapa alasan.
“Pertama, di Indonesia telah berkembang perusahaan exchanger yang memperdagangkan aset kripto dan mentransaksikannya, karena itu maka peraturan ini dikeluarkan agar dapat diatur, diawasi, dan tidak liar,” katanya.
Dia melanjutkan, tujuan berikutnya supaya tidak terjadi capital outflow.
“Kemudian nilai aset kripto sangat fluktuatif. Belum ada pengaturan mengenai penyelenggaraan aset kripto, dan tidak terdapat pihak yang menangani keluhan masyarakat konsumen aset kripto,” kata Indrasari.
Pemerintah juga hendak memastikan aset kripto tidak dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme.
“Ini karena identitas pelaku tersamarkan atau tidak dapat diidentifikasikan dengan transaksinya,” timpalnya. [ab]