Korea Utara kembali menjadi sorotan setelah kelompok peretas Lazarus dilaporkan berhasil mencuri aset kripto dalam jumlah besar.
Insiden ini tidak hanya mencetak sejarah sebagai salah satu pencurian kripto terbesar, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendalam, apakah negara yang dipimpin Kim Jong-un ini sedang membangun cadangan Bitcoin sebagai strategi keuangan baru?
Peretasan yang Disusun dengan Cermat oleh Korea Utara
Berdasarkan video terbaru dari Simply Bitcoin, kelompok Lazarus tidak melakukan serangan melalui celah keamanan dalam sistem, melainkan berhasil memanfaatkan teknik rekayasa sosial untuk mendapatkan akses ke cold wallet milik platform Bybit.
Dengan metode yang sangat terstruktur, mereka berhasil menguasai sekitar US$1,46 miliar dalam bentuk Ethereum.
Namun yang menarik, Lazarus tidak serta-merta menjual aset curian ini. Sebaliknya, mereka tampaknya tengah berusaha mengonversi Ethereum tersebut ke dalam Bitcoin.
Pergerakan ini bukan tanpa alasan, mengingat Bitcoin memiliki sifat yang lebih tahan terhadap sensor dan tidak dapat dimanipulasi seperti Ethereum.
Bitcoin: Aset Strategis bagi Negara
Bitcoin semakin dipandang sebagai aset strategis oleh banyak negara, baik secara terbuka maupun diam-diam. Pendiri Startegy, Michael Saylor, menegaskan bahwa hanya satu negara yang pada akhirnya bisa menguasai 20 persen dari total pasokan Bitcoin yang ada.
Menurut Saylor, AS memiliki peluang besar untuk mengambil langkah tersebut demi memperkuat dominasinya dalam ekonomi digital global. Namun, di sisi lain, Korea Utara tampaknya juga memahami nilai Bitcoin dalam menghadapi tekanan ekonomi internasional.
Dampak pada Ekosistem Kripto Global
Keberhasilan Lazarus dalam mengonversi hasil curian mereka ke Bitcoin menandakan bahwa negara-negara mulai memahami nilai Bitcoin sebagai mata uang yang tidak bisa dikontrol oleh satu entitas tertentu.
Ini juga membuktikan bahwa Bitcoin lebih dari sekadar aset spekulatif, melainkan alat strategis yang dapat digunakan oleh negara-negara yang terisolasi dari sistem keuangan tradisional.
“Bitcoin adalah uang. Bitcoin bersifat terbatas. Bitcoin tidak bisa disensor,” ujar host dari Simply Bitcoin.
Hal ini mencerminkan bagaimana Bitcoin bisa menjadi alat lindung nilai utama bagi negara-negara yang berada di bawah sanksi ekonomi.
AS Terlambat dalam Mengelola Cadangan Bitcoin?
Sementara Korea Utara diam-diam mengumpulkan Bitcoin, AS justru menghadapi masalah dalam mengelola kepemilikan Bitcoin-nya sendiri. Dinas Marsekal AS dilaporkan kesulitan melacak jumlah BTC yang mereka miliki.
Bahkan, negara bagian Montana baru-baru ini menolak proposal untuk menjadikan Bitcoin sebagai cadangan negara karena dianggap terlalu berisiko.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan situasi global di mana bank sentral tradisional mengalami krisis. Contohnya, Bank Sentral Eropa mencatat kerugian terbesar dalam sejarahnya, sementara AS sendiri harus membayar US$1,2 triliun per tahun hanya untuk bunga utang nasionalnya.
Masa Depan Bitcoin dalam Geopolitik Global
Jika tren ini berlanjut, Bitcoin bisa menjadi alat strategis dalam persaingan geopolitik global. Dengan sifatnya yang terdesentralisasi dan tidak dapat dimanipulasi, negara-negara yang memiliki Bitcoin dalam jumlah besar bisa memiliki keunggulan ekonomi yang signifikan di masa depan.
Elon Musk bahkan sempat menyerukan agar dilakukan audit langsung terhadap cadangan emas di Fort Knox. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, jika keberadaan emas saja masih dipertanyakan, lalu bagaimana dengan mata uang fiat?
Di sisi lain, Bitcoin tidak memiliki masalah tersebut, karena keberadaannya dapat diverifikasi secara transparan di blockchain.
Keberhasilan Korea Utara dalam mencuri dan mengonversi aset digital menjadi Bitcoin menunjukkan bagaimana Bitcoin dapat berfungsi sebagai alat keuangan strategis bagi negara-negara tertentu. Di saat AS masih ragu-ragu dalam mengambil langkah strategis terhadap Bitcoin, negara-negara lain tampaknya sudah mulai menyadari potensinya. [st]