Rabu, 27 Oktober 2020, pukul 23:11 WIB, Bitcoin resmi tembus Rp197 juta per BTC, terpantau di Indodax. Rekor terbaru itu kelanjutan penguatan selama beberapa pekan terakhir.
Lonjakan fantastis sebelumnya terjadi pada petang hari, sekitar pukul 16:30 WIB, naik dari Rp191 juta menjadi Rp195 juta pada pukul 18:31 WIB. Setelah bergerak mendatar selama beberapa jam, pada 22:19 WIB lonjakan baru muncul kembali, menghantarkan ke puncak, baru di kisaran Rp197 juta per BTC.
Dalam skala mingguan (weekly), aset kripto berkapitalisasi pasar terbesar di dunia itu tampaknya akan sangat mudah menembus Rp199 juta per BTC dalam waktu dekat. Dari sana, wilayah Rp200 juta bisa terjamah.
Di hari yang sama ketika petang, tersiar kabar bahwa Bank DBS asal Singapura mengumumkan membuka layanan trading banyak aset kripto, termasuk Bitcoin. Sempat diumumkan di situs resmi mereka, laman itu kemudian dihapus. Namun, lama cadangan yang tersimpan di Internet (web cache), masih bisa diakses oleh publik. Baca liputan lengkapnya di tautan ini.
Beberapa hari sebelumnya, sentimen positif terhadap Bitcoin pun sudah bermunculan, mulai dari sokongan besar JP Morgan terhadap Bitcoin dan emas. Pun jauh sebelum itu, investasi Bitcoin oleh Square dan MicroStrategy turun membalut meningkatkan permintaan pasar. Praktis aset kripto lain selain Bitcoin “kena ciprat” juga, sama-sama menghijau.
https://blockchainmedia.id/ada-fomo-lagi-bank-dbs-singapura-buka-layanan-trading-bitcoin/
Sementara itu sejumlah pengamat tak henti-henti menegaskan penguatan itu. Pada 26 Oktober 2020, melalui rangkaian cuitan Pendiri Morgan Creek Digital, Anthony Pompliano, menanggapi tuduhan kritikus Bitcoin bahwa Raja Aset Kripto adalah alat simpan nilai yang buruk.
Pria dengan sapaan Pomp itu malah menerangkan, bahwa pasar sendiri sebenarnya sudah membuktikan Bitcoin adalah safe haven.
Bitcoin memiliki korelasi nol dengan pasar saham dan sekali lagi kritikus salah meragukan status safe haven Bitcoin, klaim Pompliano.
Ia mengunggah grafik yang menunjukkan Bitcoin memiliki nilai nol untuk korelasi 30-hari dengan indeks S&P 500.
Many of the talking heads were screaming about Bitcoin being a horrible safe haven during the recent economic crisis.
They have been proven wrong.
Time for a thread 👇🏽👇🏽👇🏽
— Pomp 🌪 (@APompliano) October 26, 2020
Menurut Pomp, Bitcoin tidak bisa lebih tidak terkorelasi dibanding saat ini. Pomp lalu menyoroti kinerja Bitcoin yang mengalahkan aset makro lain sejak anjlok akibat pandemi COVID-19, Maret 2020 lalu.
“Bagaimana kinerja Bitcoin di saat kelesuan ekonomi? Ia mengalahkan saham, obligasi, emas, minyak dan aset lain. Bitcoin juga memiliki korelasi rendah atau bahkan nol selama kurun waktu panjang,” sebut Pomp.
Pendapat Pomp tampak tegas, senada dengan pendapat pakar statistik dan pendiri situs data Woobull, Willy Woo.
The decoupling is upon us 🙂
Makes sense that BTC will continue to be correlated in short timeframe trading; but not in the longer timeframes.
BTC is a safehaven, just that "risk-on" (meaning it's very new) is skewing this fact. https://t.co/74Agg0REAo
— Willy Woo (@woonomic) October 20, 2020
Ia memperkirakan Bitcoin akan membuka jalannya sendiri cepat atau lambat. Menurut Woo, decoupling, yaitu terlepasnya Bitcoin dari korelasi dengan aset lain, akan terjadi dalam waktu dekat.
“Masuk akal Bitcoin akan terus terkorelasi dalam perdagangan jangka pendek, tetapi tidak untuk jangka panjang. Bitcoin adalah aset safe haven. Masalahnya, karena aset ini masih baru, maka data kerap memiringkan fakta ini,” pungkas Woo. [ed]