Kendati saat ini pasar crypto sedang bullish dan harga Bitcoin (BTC) melejit lebih 100 persen sejak awal tahun 2023, sejumlah mantan crypto trader asal AS, salah satunya adalah Peter To (34), enggan kembali ke arena perdagangan aset kripto. Ia menilai daya tariknya sudah sirna. Ketika bull run sebelumnya ia mengaku pernah menghasilkan keuntungan lebih dari US$1 juta. Dan ia tak sendiri.
Sejumlah analis pasar dan pejabat tinggi perusahaan manajemen investasi beramai-ramai berspekulasi, bahwa pasar kripto saat ini mulai bergairah kembali. Pasalnya, The Fed ditafsirkan pada tahun depan mungkin akan mulai memangkas suku bunga acuan, karena diperkirakan inflasi akan mendekati target 2 persen. Ini yang diperkirakan akan membuat pasar kripto, termasuk Bitcoin kembali dijamah lebih banyak orang dan aliran dana bisa setara dengan bull run sebelumnya.
Sejumlah pihak pun merasa, Harga BTC bisa mencetak harga tertinggi baru sebelum kuartal 2024 berakhir.
Ini setidaknya terbukti di permulaan ketika harga BTC tembus 100 persen sepanjang tahun 2023 ini saja di kisaran US$35 ribu, bertepatan dengan tak berubahnya suku bunga acuan The Fed dan tafsiran akan dimulainya pemangkasan pada tahun 2024.
Itu pun hampir bersamaan waktunya dengan Bitcoin Halving yang diperkirakan akan jatuh pada April 2024. Belum lagi ditambah atmosfer spekulasi akan semakin dekat Amerika Serikat dengan lahirnya beragam Spot Bitcoin ETF, khususnya racikan dari raksasa BlackRock.
Namun, kenaikan cukup masif itu dan segala pernak-pernik keren terkini, tak mendorong Peter To asal AS ini, untuk kembali ke arena tempur crypto trading dengan ragam alasan.
“Bitcoin saat ini tak sevolatil dulu. Bagi trader seperti saya atau seperti teman-teman yang saya lain, yang lebih gemar menyasar ketidakefisienan di pasar, trading saat ini tidaklah menarik. Daya tariknya sudah sirna,” ucap To, dilansir dari Bloomberg, Sabtu (4/11/2023). To mengaku dulu sebagai day trader yang mengandalkan gejolak besar naik turun harga kripto dalam rentang waktu sangat pendek dan sempat trauma dan sulit move on akibat kasus FTX.
Trader ritel semacam To tidaklah sendiri, karena ia mundur bersamaan dengan runtuhnya crypto exchange FTX pada tahun lalu. Tak hanya pasar crypto, pasar saham juga setali tiga uang dan banyak trader yang hengkang. Bayangkan saja, BTC yang sempat menyentuh harga tertinggi sepanjang masa US$69 ribu di tahun 2021, anjlok dalam hingga US$16 ribu di tahun 2023. Pasar saham saja, menurut JPMorgan Chase, volume perdagangannya sempat anjlok 40 persen pada akhir tahun 2022 dibandingkan tahun 2021.
Crypto Trader To Tak Sendiri
Sama seperti To, ada Craig Murray. Trader yang satu ini pernah mengantongi cuan hampir US$200.000 di kala bull run dulu. Setelah kasus FTX mencuat ia sempat trauma dan mengaku saat ini sudah mulai move on.
Dia mengatakan dia lolos dari kerugian masif akibat skandal itu. Dia beruntung mendapatkan informasi lebih awal soal bangkrutnya crypto exchange besutan SBF itu. Ketika itu Murray baru berusia 23 tahun di New York dan baru-baru ini drop-out dari Universitas Vanderbilt.
“Hal seperti itu membuat saya berada di ujung tanduk. Mengapa saya menyimpan uang saya di pasar kripto ini, ketika ada kemungkinan suatu hari nanti semuanya akan hilang?” kenang Murray.
Perihal sepinya crypto trader ketika pasar bearish memang diakui oleh Bobby Zagotta, CEO Bitstamp.
“Pasar ritel di lingkungan yang bearish umumnya cukup sepi, tetapi saat ini kondisi sudah mulai pulih,” ujarnya.
Tanda lain bahwa investasi ritel di kripto tidak kembali ke level sebelumnya dapat dilihat pada volume hari kerja versus volume akhir pekan, dengan anggapan bahwa orang yang biasa melakukan perdagangan di akhir pekan adalah pedagang harian seperti To dan Murray.
“Bukanlah hal yang aneh saat ini melihat rata-rata volume perdagangan hari kerja 50 persen lebih tinggi dibandingkan volume perdagangan akhir pekan, sedangkan di masa lalu rasio ini hampir 1:1,” kata Fredrick Collins, Kepala Eksekutif dan Pendiri Velo Data.
Trader AS Tidur, Pasar Crypto Global Tak Bergerak
Adalah seorang crypto trader, Tim van den Berg (24) keluar banyak modal untuk trading Bitcoin hingga Dogecoin (DOGE) antara tahun 2016 dan 2019 saat dia masih kuliah di Belanda. Selama periode itu dia merugi sekitar US$12.000.
“Saya terus-menerus kehilangan begitu banyak uang. Saya harus menabung, mencari pekerjaan yang lebih baik, dan mulai was-was dengan kuliah saya. Saya lebih merasa nyaman di pasar berjangka saat ini daripada di kripto. Jujur, pasar aset digital saat ini tak menarik lagi, banyak manipulasi. Padahal awalnya ini bisa mengalahkan sistem perbankan, sekarang justru orang kaya saja yang bisa menghasilkan uang, bukan ritel. Lihat saja, ketika trader kripto di AS tidur, pada dasarnya pasar tidak bergerak. Dulu tak seperti itu,” tambah Berg.
Liar dan Ganasnya Pasar Kripto
Murray pun mencoba memperingkatkan publik tentang liar dan ganasnya pasar kripto, karena banyak orang kurang menggunakan akal sehatnya.
“Banyak orang yang berpikir bisa menghasilkan uang dengan mudah di kripto, tapi tak berpikir panjang soal risiko besarnya setelah menuangkan banyak uang ke dalamnya,” pungkasnya.
Kini dengan kenaikan pasar kripto, publik mulai menafsirkan kembali bahwa mungkin crypto trader ritel lainnya mulai masuk kembali, tetapi kelak bertempur dengan trader sekelas korporat yang memiliki kapital dan jejaring lebih besar. Bahkan bank-bank besar pun disarankan menjadi kustodian sejumlah produk terkait kripto di masa depan. [ps]