Dimaz Ankaa Wijaya
Peneliti pada Blockchain Research Joint Lab Universitas Monash, Australia
Ketika kita berbicara soal mata uang kripto, kita juga sedang berbicara soal demokrasi. Ketika tidak ada seorang pun yang menjadi pemimpin dalam mengendalikan sistem, maka masing-masing peserta sistem harus berkontribusi agar sistem tersebut mencapai tujuan bersama.
Sistem triple entry seperti teknologi blokchain yang diterapkan oleh mata uang kripto ini menjadi source of truth, ketika informasi yang disimpan oleh pihak-pihak yang bertransaksi tidak dapat lagi dipercaya, misalnya ketika masing-masing berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang tidak wajar. Source of truth dalam mata uang kripto pada umumnya didasarkan pada konsensus, serupa dengan proses pengambilan suara dalam pemilu. Pilihan manapun yang mendapatkan suara terbanyak, ialah yang akan dianggap sebagai kebenaran, hingga suatu saat ada pilihan lain yang mendapatkan suara lebih banyak.
Konsensus ciptaan Satoshi Nakamoto (Nakamoto Consensus) ini sangat sederhana, tetapi juga berhasil membuktikan bahwa tanpa identitas yang jelas, demokrasi tetap dapat dilangsungkan. Lebih istimewa lagi karena Konsensus Nakamoto ini memperbolehkan siapapun bergabung dan meninggalkan sistem kapanpun diinginkan.
Seperti halnya pengambilan suara dalam setiap pemilu, konsensus Nakamoto juga terbukti mahal dilakukan, karena harus ada harga yang harus dibayarkan oleh peserta konsensus. Untuk mendapatkan level keamanan informasi yang memadai, di dalam mekanisme Proof-of-Work (PoW) sejumlah besar energi listrik harus dikonsumsi demi menjalankan “mesin-mesin konsensus”.
Ketika kita berbicara soal pemilu, tentu saja ada pilihan selain menggunakan pemilu untuk menentukan informasi mana yang harus disimpan, misalnya dengan menggunakan sistem perwakilan. Dalam sistem perwakilan, pengambilan keputusan dapat diambil dengan metode yang lebih efisien, mengingat para wakil ini tentu saja akan berjumlah jauh lebih sedikit daripada mereka yang terwakili.
Namun tentu saja, tingkat kepercayaan terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh para wakil ini menjadi tergadaikan, karena amat bergantung kepada bagaimana para wakil ini menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Masalah menjadi semakin rumit ketika para wakil ini memiliki kepentingan yang bertolak belakang dengan kepentingan mereka yang terwakili, dan jumlah para wakil yang sedikit.
Belajar dari pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sistem perwakilan memang menjadi salah satu pilar negara, namun menilik reaksi masyarakat terhadap para wakil mereka yang duduk di kursi dewan, nampaknya sistem perwakilan tidak dapat memuaskan semua pihak. Berbeda misalnya ketika seluruh masyarakat melakukan pemilihan langsung dalam penentuan siapa yang berhak menduduki kursi presiden berikutnya, maka masyarakat dapat merasakan bahwa mereka ikut terlibat langsung dalam penentuan masa depan negara.
Kembali ke demokrasi anonim a la mata uang kripto, identitas adalah hal yang sama sekali tidak krusial dalam sistem ini. Deretan angka menjadi representasi individual, sementara kalkulasi matematis menjadi bukti bahwa suara telah diberikan ke dalam sistem. Semuanya ini tidak dapat terjadi tanpa teknologi kriptografi. Berbagai algoritma yang tersemat dalam sistem mata uang kripto dapat menyembunyikan siapapun yang berdiri di balik alamat tertentu, di mana pemberian informasi identitas menjadi sebuah pilihan dan bukan paksaan.