Menakar bursa berjangka aset kripto di Indonesia sama halnya memasuki gua baru. Lentera yang kita bawa terkadang terang, terkadang padam sendiri bahkan dipadamkan. Pertanyaan penting di sini, bukanlah kapan, tetapi, mengapa.
OLEH: Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id
Pada 20 September 2018 ditetapkanlah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 Tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset).
Peraturan itu termasuk bersejarah di Indonesia, termasuk di Asia Tenggara, karena untuk kali pertama Indonesia mengakui cryptocurrency alias mata uang berbasis kriptografi-blockchain.
Ia bukanlah mata uang/uang elektronik sebagaimana yang ditetapkan oleh Satoshi Nakamoto.
Oleh negara ia disebut sebagai intangible commodity, masuk kategori digital asset, dengan sub-kategori aset kripto.
Dengan demikian ia tak layak dan dilarang keras sebagai alat pembayaran barang dan jasa di wilayah Indonesia.
Ia adalah barang dagangan, selayak uang dolar AS tidak boleh dipakai untuk jual-beli beras dan minyak di pasar tradisional.
Tapi kalau Anda ingin membeli dan menjual valuta asing, baik di tempat penukaran uang ataupun di bursa berjangka, itu tidak masalah.
Khusus soal debat legal tender ini, sudah dikoar-koarkan sejak tahun 2014 oleh Bank Indonesia.
Bahkan tahun 2018 semakin tegas melarang Bitcoin, hingga terjawablah pertanyaan: “Apa underlying asset rupiah” di Twitter ini.
Jauh sebelum peraturan itu keluar, Presiden Joko Widodo berulang kali mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus paham dan menerapkan teknologi blockchain, harus paham Bitcoin.
Terima kasih atas responnya, underlying asset dari sebuah mata uang yg diterbitkan adalah jaminan dari bank sentral yang menerbitkan atau mata uang tersebut.
— Bank Indonesia (@bank_indonesia) January 26, 2018
Barangkali pangkal peraturan itu berasal dari ucapan kepala negara itu.
Intinya, negara dan pemerintah, mengakui Bitcoin Cs sebagai komoditas yang layak dijadikan sebagai subjek perdagangan di bursa berjangka (futures market).
Bursa Berjangka Indonesia
Pasar atau bursa berjangka Indonesia sebenarnya masih terbilang baru dan kurang popular dibandingkan pasar modal seperti bursa efek (sekuritas).
Sedangkan di Amerika Serikat dimulai oleh Chicago Produce Exchange pada tahun 1874 dan berubah nama menjadi Chicago Mercantile Exchange (CME) pada tahun 1898.
CME juga pada Desember 2017 tercatat dalam sejarah sebagai bursa berjangka pertama di dunia yang memperdagangkan kontrak berjangka Bitcoin (BTC). Dan bulan lalu sudah merambah terhadap nilai Ether (ETH).
Sedangkan debut bursa berjangka di Indonesia baru dimulai tahun 2000 silam dengan berdirinya PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) alias Jakarta Futures Exchange (JFX).
Kemudian pada tahun 2009 muncul satu lagi, yakni PT Bursa Komoditi
Derivatif Indonesia (BKDI) alias Indonesia Commodity Derivative Exchange (ICDX).
Dengan kata lain, aset kripto diakui setara dengan komoditas lainnya yang duluan hadir di bursa berjangka, yakni di ICDX dan JFX.
Di ICDX misalnya ada kontrak berjangka emas, minyak sawit, valuta asing, minyak mentah dan lain sebagainya.
Sedangkan di JFX ada kontrak berjangka emas, kakao, kopi robusta, kopi arabika dan indeks emas.
Di JFX ada pula pasar fisik alias spot market untuk beragam produk komoditi lainnya.
Apa Itu Bursa Berjangka?
Bursa berjangka masuk dalam ketegori derivative market. Di situ yang diperdagangkan bukanlah produk asli/fisiknya, melainkan kontrak atas produk itu.
Jadi, nilai perdagangannya disebut turunan (derivative) dari pasar fisik alias spot market (langsung-satu arah).
Atau dengan kata lain, underlying asset dari produk di bursa berjangka adalah dinamika harga di spot market.
Misalnya dalam perdagangan kontrak berjangka minyak sawit, trader bukan menjual-beli minyak sawitnya, melainkan kontrak perdagangan atas nilainya.
Disebut kontrak, karena ada semacam batasan, aturan-aturan tertentu, mulai dari jangka waktu antara pembelian dan penjualan hingga batas atas dan batas bawah harga.
Anda yang terbiasa berdagang di bursa berjangka di Binance ataupun Bityard pasti sudah terbiasa dengan itu. Ingat fitur leverage-nya, kan?
Nah, di bursa berjangka di Indonesia juga begitu, berlaku mekanisme leverage, sehingga margin (modal dagang) Anda “didongkrak” hingga berlipat-lipat.
Ketika harga di spot-market naik atau turun tipis, dan analisis Anda sebelumnya benar, maka Anda mendapatkan profit darinya.
Namun, kalau meleset Anda hanya rugi dari margin yang Anda gunakan.
Jadi, di bursa berjangka berlaku dua arah, ketika harga turun pun, Anda masih bisa membukukan laba, asalkan analisisnya selaras dan tak lupa soal money management-nya.
Bursa seperti ini sudah amat popular di Indonesia, menggunakan pasar lain dari luar negeri.
Tidak sedikit pula rekan-rekan muda kita berjaya mendulang untung di sana.
Bappebti dan Publik
Untuk urusan bursa berjangka ada Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang berada di bawah Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
Ada fungsi koordinasi dengan beragam komponen, khususnya bersama ICDX dan JFX itu, serta tentu saja banyak lembaga terkait lain.
Dan berdasarkan peraturan menteri tahun 2018 itu, khusus sektor aset kripto juga diawasi oleh Bappebti.
“Penguat rasanya” adalah Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) Di Bursa Berjangka.
Peraturan itu ditetapkan pada 8 Februari 2019, ditandatangani oleh Kepala Bappebti kala itu, Indrasari Wisnu Wardhana.
Jauh, sebelum peraturan itu ditetapkan, ketika “rapat tertutup” digelar oleh badan itu dengan sejumlah “exchange”, kami terlebih dahulu menerbitkan “bocorannya” kepada publik. Silahkan baca di sini.
Beberapa hari setelah penerbitan berita itu, Redaksi mendapat “teguran” pada malam hari dari seseorang yang mengaku dari Bappebti.
Peraturan itu sendiri sudah berubah-ubah berulang kali, dilengkapi dengan peraturan berbeda, termasuk yang terbaru adalah daftar 229 aset kripto yang bisa diperdagangkan di bursa fisik.
Calon Pedagang Fisik
Karena bursa berjangka harus ada komponen pedagang fisik (alias spot-market), maka Bappebti sudah menetapkan 13 Calon Pedagang Fisik Aset Kripto di Indonesia ini.
Mereka adalah perusahaan-perusahaan yang selama ini jasanya Anda gunakan untuk membeli Bitcoin dan saudara-saudaranya itu, termasuk itu yang kalian sebut “koin micin” atau versi luar negerinya “sh*t coin”
Anda biasa menyebutnya dengan exchange, sedangkan kami di redaksi lebih suka menyebutnya dengan bursa aset kripto dengan makna yang serupa, karena mempertemukan antara penjual dan pembeli.
Kalian juga bisa menyebutnya marketplace seperti toko online.
PT Digital Futures Exchange (DFX)
Pada Oktober 2020 berdirilah PT Digital Futures Exchange (DFX). Perusahaan itu adalah bursa berjangka khusus aset kripto dan sampai detik ini belum meluncurkan produk berjangka aset kripto apapun di Indonesia.
DFX didirikan oleh 6 Pedagang Fisik Aset Kripto di Indonesia, yakni Upbit, Indodax, Zipmex, Pintu dan lain-lain.
Di DFX itulah PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) akan ikut andil untuk urusan penyelesaian kesepakatan transaksi.
Sedangkan PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) tertarik sebagai anggota komite bursa di DFX. ICDX juga akan dilibatkan di situ.
“Usulan rencana bergabung dengan DFX telah dijadwalkan untuk dibahas dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa BBJ pada akhir Oktober ini,” ujar Direktur BBJ, Stephanus Paulus Lumintang kala itu, dilansir dari BeritaSatu.
Cerita Rp1,5 Triliun
Berdasarkan data terkini, jumlah pengguna yang terdaftar di bursa aset kripto fisik mencapai 4,2 juta akun. Ini hampir menyamai pengguna di bursa efek, yakni 4,5 juta akun.
Kendati demikian, Bappebti menyebutkan bahwa volume rata-rata transaksi harian di seluruh bursa fisik baru mencapai Rp1,5 triliun. Sedangkan di bursa efek tentu jauh lebih tinggi.
Namun data pasar aset kripto itu tak sepenuhnya sahih, kata Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda.
Namun ia tak memungkiri jumlahnya akun pengguna akan bertambah setidaknya menjadi 10 juta.
Catatan Redaksi
Ada sejumlah catatan redaksi soal DFX ini. Pertama, prosesnya sangat lamban. Peraturannya terbit tahun 2018, tapi bursa berjangka khusus aset kripto belum ada penampakan.
Bahkan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, mewakili sosok generasi Milenial Indonesia, berulang-ulang kali akan hadirnya bursa itu.
“Banyak yang harus dipersiapkan, jadi jelas ingin cepat mengingat perkembangan yang demikian pesat, tapi tentu harus ada persiapan yang matang supaya tujuan pendirian bursa tercapai,” jawab Jerry dilansir dari Liputan6.
Sedangkan kepada Republika, dia bilang: “Mata uang kripto ini harus memberikan manfaat yang besar dan juga aman. Dalam hal ini, aman bagi pemilik, pelaku usaha, aman juga bagi negara. Untuk itu, diperlukan kapasitas institusi dan regulasi yang baik.”
Selamat malam Bapak Jerry Sambuaga, jika benar bahwa dalam kutipan tulisan ini benar maka ini akan kembali menimbulkan kebingungan antara penyebutan Bitcoin sebagai “Aset Kripto” di Indonesia. @Kemendag https://t.co/EghMS9q1Gm pic.twitter.com/8l6RkHe9FR
— T.K. Harmanda (@tkharmanda) February 1, 2021
Kedua, ketidakjelasan acuan soal aset-aset kripto mana saja yang bisa diperdagangkan di bursa fisik dan di bursa berjangka.
Pada peraturan perdana Bappebti salah satu acuan utama adalah aset kripto itu sudah pernah masuk di daftar 500 besar aset kripto versi Coinmarketcap.com (milik Binance).
Acuan itu berdasarkan kapitalisasi pasar-nya (harga dikalikan dengan jumlah unit asetnya).
Namun belakangan, terbit pula daftar 229 aset kripto yang bisa diperdagangkan di bursa fisik aset kripto.
Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia mendukung keputusan peraturan Bappebti, pimpinan Sidharta Utama, itu.
Anda bisa perhatikan sendiri di salah satu bursa di Indonesia, banyak aset kripto baru yang di-listing, yang kriterianya “agak abu-abu”.
Ketiga, mengingat pangsa bursa berjangka di Indonesia masih terbilang kurang popular dibandingkan bursa efek, sosialisasi soal pasar aset kripto ini juga masih kurang memuaskan.
Kami mencatat, Bappebti hanya beberapa kali saja menggaung-gaungkan soal itu kepada masyarakat. Itu pun sangat terbatas.
Ke depan, Bappebti seharusnya bisa bergerak lincah seperti Bursa Efek Indonesia, yang punya kelas pasar modal yang dibuka setiap pekan di sejumlah kota besar di Indonesia.
Keempat, belum lagi jelas bursa berjangkanya, sudah beredar pula wacana pajak khusus bagi pengguna aset kripto.
Kelima, Yang tak kalah menarik adalah soal “perang biaya tarik rupiah” dan biaya order. Dari sejumlah bursa kripto yang beroperasi, biaya tarik rupiah ke rekening bank berbeda satu sama lain. Belum lagi soal biaya order.
Ke depan, sepatutnya ini bisa lebih seragam, agar persaingan lebih sehat, tak seperti lingkungan hutan liar.
Peran Negara Republik
Bagi kami di redaksi, peraturan menteri dan peraturan Bappebti terkait aset kripto adalah bukti hadirnya negara di sektor yang masih baby dan “maha seksi” ini. Sikap ini kami torehkan sejak awal media siber ini terbit.
Bukanlah masalah besar kalau Bitcoin Cs tak boleh sebagai alat pembayaran alternatif. Tak masalah pula aset kripto ini diakui sebagai komoditas tak berwujud. Dan tak masalah pula kelak dijadikan objek pajak demi negara.
Tapi, bagi mereka yang menggunakan Bitcoin untuk “barter” dengan rumah mewah, bukan berarti mereka tak mencintai rupiah sebagai simbol kedaulatan negara. Semoga Bank Indonesia bisa lebih mengilhami ini.
Jikalau kelak bursa berjangka lahir, pastikan jelas pula berapa tingkat leverage-nya dan aset kripto apa saja yang bisa diperdagangkan dan buktikan dengan kriteria yang terang benderang.
Dan yang paling utama, tidak perlu main “rahasia-rahasiaan” seperti dulu, karena peran negara bukanlah untuk pemerintah semata, tetapi untuk “re”-“publik”, rakyat. [vins]