Indonesia masih menganut ketentuan bahwa hasil pemilu yang sah adalah hasil penghitungan fisik kertas surat suara. Namun, pencatatan digital seperti yang dilakukan oleh kawalpemilu.org pada tahun 2014 memungkinkan diperkaya dengan teknologi blockchain.
Wacana itu mengemuka pada diskusi keamanan siber yang diselenggarakan oleh Tordillas (Institute for Digital Law and Society), lembaga think tank yang berfokus pada advokasi kebijakan hukum dan teknologi, di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta belum lama ini.
Nanang Indra Suyitno, anggota divisi Teknologi Informasi KPU tak menampik bahwa sejumlah server yang mereka gunakan selalu diserang oleh berbagai pihak terutama di musim pemilihan.
“Beberapa peretas hanya ingin menjajal kemampuannya dengan melakukan deface. Sebagian lagi ingin masuk lebih jauh ke dalam pangkalan data (database) dan berusaha memanipulasi isinya. Keduanya merupakan ancaman nyata dan serius. Sebab, gangguan sekecil apa pun dapat mempengaruhi legitimasi proses kerja yang dilakukan oleh KPU,” kata Nanang.
Direktur Pengembangan Sandton Consulting, Anton Dewantoro yang juga hadir di acara itu sebagai narasumber, mengatakan bahwa di sinilah peran blockchain bisa masuk untuk memperkaya sistem pengamanan pemilu Indonesia.
Kata Dewantoro, blockchain sebagai perangkat utama pemungutan suara saat ini belum bisa diterapkan, sebab undang-undang masih mengamanatkan bahwa kertas suara adalah bukti yang sah dalam perhitungan hasil pemilihan. Namun, peluang blockchain digunakan sebagai alat bantu verifikasi hasil pemilu dari tiap TPS sangat terbuka.
“Dengan ketentuan yang ada sekarang, saya pikir blockchain tidak diposisikan sebagai perangkat utama pencoblosan di bilik suara, tetapi disematkan ke dalam sistem pencatatan publik yang diselenggarakan oleh kawalpemilu.org. Platform itu memungkinkan masyarakat mengawasi pelaksanaan pemilu dengan mengunggah sejumlah dokumen untuk proses verifikasi hasil suara. Nah, semua data digital itu bisa disimpan ke dalam blockchain. Mengingat sifat blockchain adalah permanen, tak dapat dihapus dan transparan, maka data itu menjadi sahih dan dapat dipertangungjawabkan kebenarannya,” kata Dewantoro.
Ia menambahkan, blockchain memungkinkan para pihak yang terlibat dan memiliki kepentingan pada proses pemilu bisa mendapatkan acuan pencatatan yang sama, sehingga bisa menekan terjadinya penyangkalan data akibat banyaknya versi pencatatan.
Dewantoro berharap, di masa depan sistem pemilu Indonesia dapat beralih ke sistem elektronik penuh, sehingga blockchain dapat diterapkan sebagai perangkat utama di bilik suara. Pemilih bahkan bisa melakukannya di mana saja menggunakan ponsel yang aplikasinya desentralistik pada jaringan blockchain.
Masih hijau
“Secara teknologi blockchain memang masih hijau, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Ke depan pasti ada perkembangan lebih canggih. Ya, khusus pengayaan sistem pemilu menggunakan blockchain, menurut hemat saya KPU bisa mulai menjajal kemampuan blockchain privat, bukan jenis publik,” pungkasnya.
Keandalan blockchain bagi revolusi ekonomi global memang menjadi catatan besar oleh sejumlah lembaga penelitian seperti PwC, Deloitte dan Gartner. Namun, karena laju kembangnya baru 11 tahun sejak adanya sistem uang elektronik peer-to-peer Bitcoin, blockchain perlu waktu agar adopsi dan tingkat keamanannya lebih tinggi.
Belum lama ini terjadi peretasan pada blockchain publik Ethereum Classic dan blockchain EOS yang mengakibatkan sejumlah dana dicuri. Ethereum Classic (ETC) mengalami “serangan 51 persen”, di mana sang peretas berhasil melakukan sebelas reorganisasi rantai blockchain dan double spend sebesar 88.500 ETC senilai US$400 ribu. Sementara itu, peretasan di blockchain EOS mengakibatkan raibnya 2,09 juta EOS (sekitar US$7,7 juta) dari satu akun blockchain EOS. Penyebab utamanya adalah kelalaian seorang Block Producer (BP) yang tidak memperbarui isi daftar hitam (blacklist) akun-akun terlarang di EOS. [vins]