Penyebab harga Bitcoin turun memang beragam, tetapi yang utama adalah karena dolar AS yang sedang menguat. Itu dapat ditakar dan dipantau dengan indeks dolar (DXY) dan dalam relasinya dengan potensi munculnya resesi akibat kenaikan suku bunga agresif. Simak penjelasan lengkapnya.
Sejak 10 November 2021 hingga hari ini, Minggu (19/6/2022), harga Bitcoin anjlok lebih dari 74 persen di skala harian. Harga Bitcoin hari ini terdepak hingga US$17.598 pada dini hari, jauh di bawah US$20 ribu yang merupakan rekor tertinggi pada Desember 2017.
Pada skala mingguan, harga kripto nomor wahid itu pun sudah jatuh di bawah garis Moving Average (MA) 200, sama seperti pada 9 Maret 2020, 3 Desember 2018 dan 24 Agustus 2015. Secara teknikal harga saat ini sejatinya sudah oversold, yang secara historis bisa beranjak naik, jika menembus ke atas MA 50.
Namun skenario demikian dapat terbantahkan jika menilik konteks dan variabel lain, yakni situasi makroekonomi saat ini, yakni menguatnya dolar AS secara signifikan. Penyebabnya apa? Ya, tentu saja karena The Fed alias Bank Sentral AS yang akan terus melakukan tapering (mengurangi aset dari neracanya) dan akan terus menaikkan suku bunga acuan sepanjang tahun ini dan tahun 2023 untuk melawan inflasi buruk lebih dari 8,6 persen.
Pun soal tapering itu sudah diwacanakan pada November 2021, turut berdampak pada surutnya harga Bitcoin dan kripto lain ketika itu. Dan itu kian tegas pada Maret 2022 dan hari ini ketika The Fed akan terus menaikkan suku bunga agar inflasi dapat ditekan hingga 2 persen.
Dalam rumusan umum, investor dan trader akan lebih berminat masuk ke pasar saham dan kripto ketika suku bunga rendah, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Goldman Sachs pada tahun lalu. Dan inilah yang terjadi sebelumnya, tetapi tidak hari ini.
Nah, mari kita fokuskan pada relasi antara naik turunnya nilai dolar dengan harga Bitcoin. Seorang analis di perusahaan riset kripto, Delphi Digital, mengatakan bahwa harga Bitcoin akan cenderung berlawanan dengan indeks dolar. Artinya, jika dolar Amerika Serikat melemah, maka Bitcoin memiliki kinerja yang baik dan begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, penyebab harga Bitcoin turun adalah karena dolar yang sedang menguat.
Apa Itu Indeks Dolar (DXY)?
Indeks dolar yang disimbolkan dengan DXY adalah alat ukur untuk memantau kuat dan lemahnya nilai dolar AS terhadap mata uang negara lain yang merupakan mitra dagang utama Amerika Serikat, yakni euro Uni Eropa, franc Swiss, yen Jepang, dolar Kanda, pound Inggris dan krona Swedia. DXY dirancang pada tahun 1973 oleh The Fed 2 tahun setelah dolar AS tak dipatok lagi dengan cadangan emas dan sekarang DXY dikelola oleh ICE Data Indices, anak perusahaan Intercontinental Exchange (ICE).
Nah, karena dolar AS saat ini masih sebagai mata uang utama dunia untuk perdagangan, memantau DXY adalah perlu untuk menakar nilainya relatif dengan pasar saham dan pasar kripto ataupun jenis aset lainnya.
Penyebab Harga Bitcoin Turun Signifikan
Beberapa bulan lalu, para tim analis dari NYDIG mengatakan bahwa mata uang dolar yang semakin menguat membuat para investor beralih. Dari yang sebelumnya mereka memegang Bitcoin atau emas, karena mata uang menguat, maka mereka beralih ke dolar AS.
Untuk melihat kekuatan dolar kita bisa melihat grafik DXY bisa menggunakan data dari situs TradingView.com ini. Ketika artikel ini ditulis DXY berada di level 104, turun 0,4 persen sejak 17 Juni 2022. Namun level 17 Juni 2022 itulah yang tertinggi sejak 18 Juni 2021, karena sudah berada di atas Moving Average (MA) 200.
Secara teknis itu sudah sebagai penanda apik, bahwa dolar AS memasuki masa-masa bullish. Di saat yang sama, ketika itu harga Bitcoin melemah, masuk di kisaran US$36.582 setelah masuk ke puncak tertinggi lokal, US$65.044 pada 14 April 2021.
Memang korelasinya tidak ajeg selalu positif, tetapi lebih sering, karena trader “memainkan” pasar agar mendapatkan keuntungan dari naik turunnya dolar terhadap BTC.
Maka, tidaklah heran, ketika pada November 2021, The Fed mengumumkan akan menaikkan suku bunga dan melakukan tapering, pasar pun bereaksi dengan melakukan akumulasi terhadap dolar dan menjual aset saham dan aset kripto mereka.
Nah, pada 31 Desember 2021 itu semakin nyata, ketika harga BTC berada di bawah Moving Average 200 di skala harian (US47.400). Ini adalah penanda sangat kuat, bahwa era bearish telah tiba. Penurunan kala itu lebih dari 30 persen dari puncak tertinggi di US$69.000 per BTC. Dalam konteks pasar saham, ketika indeks saham sudah turun 20 persen dari rekor tertinggi, itu masuk kategori bearish, seperti yang terjadi saat ini.
Pemulihan Harga Bitcoin Jika Terjadi Resesi
Untuk menjawab ini, maka kita memerlukan sejumlah indikator lain, selain kekuatan dolar itu, yakni kebijakan makro ekonomi, di antaranya adalah kebijakan kenaikan suku bunga acuan yang agresif dan kebijakan tapering oleh The Fed dan sejumlah bank sentral lain sepanjang tahun ini dan hingga pada tahun depan.
Ingatlah bahwa kebijakan seperti ini tidak pernah terjadi sejak Bitcoin diluncurkan pada tahun 2008 silam. Kala itu, hingga November 2021 dolar secara umum memang lemah, karena kebijakan suku bunga rendah dan melimpahnya dolar, imbas pelonggaran kuantitatif. Hal itu pula yang menjadi latar belakang Satoshi Nakamoto merancang BTC.
Faktor resesi di antaranya perlu dipertimbangkan. Ingatlah pada Maret 2021, ketika pandemi resmi diumumkan oleh The Fed, harga Bitcoin sempat anjlok dan pulih cepat. Itu penanda munculnya resesi, karena memaksa bank sentral menggelontorkan dolar dan menurunkan suku bunga.
Skenario menguatnya harga Bitcoin adalah karena resesi itu, yang diproyeksikan akan terjadi pada tahun depan, hanya jika kebijakan kenaikan suku bunga kali ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi AS selama dua kuartal berturut-turut.
Gambar di bawah ini menunjukkan relasi naik turunnya suku bunga acuan dengan munculnya resesi. Resesi acapkali terjadi, setelah suku bunga acuan dinaikkan secara agresif. Resesi pendek memuncak pada Maret 2020, yang dimulai pada akhir Januari 2020, setelah suku bunga memuncak di 2,44 persen pada 15 April 2019.
Resesi sebelumnya lagi (Bitcoin belum hadir di awal), terjadi pada Desember 2007, setelah suku bunga naik di puncak sekitar 5,24 persen. Resesi memuncak pada Juni 2009, beberapa bulan setelah BTC diluncurkan.
Jika resesi terjadi di masa depan, maka The Fed mau tak mau akan menggelontorkan dolar AS lagi demi menyelamatkan ekonomi. Suku bunga pun diturunkan paksa dan berpotensi derasnya arus masuk modal ke pasar saham dan kripto lagi.
Bilakah itu, tak seorang pun tahu, tetapi grafik di atas memberikan kita tolok ukurnya: suku bunga naik tinggi dan justru memunculkan resesi.
Suku bunga diproyeksikan bisa mencapai 3,4 persen pada tahun ini, berdasarkan sejumlah pakar, dilansir dari CNBC. Besaran itu jauh lebih besar daripada April 2019 dan hampir menyamai Agustus 2005, sebelum munculnya resesi 2007.[ps]