Meski disebut sebagai aset lindung nilai, Bitcoin nyatanya banyak dianggap gagal ketika inflasi melanda.
Telah lama, Bitcoin dianggap sebagai salah satu aset lindung nilai layaknya emas, saat hal buruk terjadi di perekonomian global, serta telah diamini oleh banyak profesional di ruang institusi.
Memang, saat halving Bitcoin terjadi dan pandemi melanda di tahun 2020, Bitcoin (BTC) perlahan bangkit dan mencetak puncak baru setahun setelahnya.
Namun, saat masa sulit tiba, harga aset kripto utama ini justru terjun bebas hingga saat ini, harganya telah terdepresiasi lebih dari 70 persen dari ATH saat ini, menjadi lebih rendah dari ATH yang dibentuk di tahun 2017.
Bitcoin Gagal Ketika Inflasi?
Berdasarkan laporan Cointelegraph, Bitcoin sejatinya tidak benar-benar gagal menjadi aset lindung nilai di tengah inflasi yang melanda beberapa negara.
Inflasi yang terus menggerogoti telah mengarah ke khawatiran resesi, yang bahkan telah diamini oleh bank sentral AS, yang mulai dapat menerima jika memang akan terjadi resesi.
Masalah yang terjadi saat ini benar-benar bersifat global, ditambah dengan masalah geo-politik sejak perseteruan antara Ukraina dan Rusia, memicu krisis energi di wilayah Eropa dan Inggris.
CEO dari firma perdagangan kuantitatif kripto Musca Capital, Kasper Vandeloock, masih melihat BTC sebagai salah satu aset berkinerja hebat meski sedang bergerak turun. Kunci utama adalah bagaimana cara orang memandang BTC di tengah krisis saat ini.
“Tentu, BTC turun 75 persen, tetapi itu tetap aset terkuat di luar sana jika kita membandingkannya dengan mata uang seperti lira Turki..,” ujar Kasper.
Kasper pun menjelaskan bahwa, salah satu faktor aset disebut lindung nilai inflasi adalah dapat menjadi semacam asuransi seperti properti. Ini telah banyak dilupakan.
Sementara, emas adalah aset yang sulit untuk disimpan dan dijual karena tidak likuid. Namun, BTC menawarkan keuntungan lebih untuk itu dibandingkan emas.
Apa yang membuat Bitcoin dikatakan gagal ketika inflasi adalah, karena dolar AS terus menguat dalam lingkup ekonomi makro.
Sebenarnya, sektor keuangan sudah benar-benar rapuh dan tidak stabil. Namun, di masa krisis geo-politik, dolar AS menjadi aset lindung nilai inflasi utama, sehingga tidak ada aset lain yang mampu menyainginya, termasuk emas.
“Sifat desentralisasi Bitcoin membuatnya kekurangan daya tarik di tengah konflik, karena tidak didukung pemerintah mana pun. Dolar AS menjadi kuat di masa perang dan menekan pasar kripto dan mata uang,” tambahnya. [st]
Disclaimer: Seluruh konten yang diterbitkan di Blockchainmedia.id, baik berupa artikel berita, analisis, opini, wawancara, liputan khusus, artikel berbayar (paid content), maupun artikel bersponsor (sponsored content), disediakan semata-mata untuk tujuan informasi dan edukasi publik mengenai teknologi blockchain, aset kripto, dan sektor terkait. Meskipun kami berupaya memastikan akurasi dan relevansi setiap konten, kami tidak memberikan jaminan atas kelengkapan, ketepatan waktu, atau keandalan data dan pendapat yang dimuat. Konten bersifat informatif dan tidak dapat dianggap sebagai nasihat investasi, rekomendasi perdagangan, atau saran hukum dalam bentuk apa pun. Setiap keputusan finansial yang diambil berdasarkan informasi dari situs ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pembaca. Blockchainmedia.id tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung, kehilangan data, atau kerusakan lain yang timbul akibat penggunaan informasi di situs ini. Pembaca sangat disarankan untuk melakukan verifikasi mandiri, riset tambahan, dan berkonsultasi dengan penasihat keuangan profesional sebelum mengambil keputusan yang melibatkan risiko keuangan.