Beberapa pekan terakhir laju gerak harga Bitcoin relatif lekat dengan pasar saham. Pertanyaan pun membuncah, apakah Bitcoin adalah aset berisiko atau aset penyimpan nilai (store of value)?
Padahal secara historis publik mengamini bahwa Bitcoin selayaknya emas sehingga ia disebut sebagai store of value asset seperti emas. Namun, yang terjadi sebaliknya, yang disebut sebagai karakter “cointegrated” karena tidak berbanding terbalik dengan pasar saham.
Hal itu disebut oleh PlanB, nama samaran yang merancang model “Bitcoin Stock to Flow“. Katanya, Bitcoin dan pasar saham (indeks S&P 500) memiliki korelasi hingga 95 persen.
Di atas kertas, korelasi itu terjadi ketika dua aset (Bitcoin dan saham) bergerak bersama-sama, baik secara positif (naik) atau negatif (turun). “Cointegrated” mengukur penyebaran harga jangka panjang antara dua aset, yaitu kedua aset akhirnya kembali ke penyebaran historisnya meskipun ada pelebaran berkala.
Christopher Brookins di Forbes menyebutkan Bitcoin dan S&P 500 secara historis terkointegrasi. Ini menyiratkan bahwa Bitcoin adalah aset berisiko yang diuntungkan dari faktor makro dan moneter yang sama yang mendorong pasar modal, dalam penyebaran historisnya.
“Namun, memperpendek dataset pengujian ke beberapa tahun terakhir, kami tidak mendapati adanya kointegrasi itu. Pada secara statistik sangat lemah. Satu penjelasan yang mungkin untuk ini adalah bahwa Bitcoin secara historis berperilaku sebagai aset berisiko, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, Bitcoin telah mulai beralih ke penyimpanan aset bernilai. Validasi lebih lanjut untuk hipotesis ini adalah analisis antara emas (GLD) dan S&P 500 yang tidak menunjukkan kointegrasi dan hubungan yang juga lemah,” sebut Brookins.
Namun, Brookins beranggapan Bitcoin bisa berperilaku sebagai store of value asset, jikalau Bank Sentral AS alias The Fed mengalami kegagalan struktural dalam kebijakan moneternya (money printing), seperti yang terjadi di Jepang. [Forbes/red]