Mengurai Lima Mitos Seputar Bitcoin

Bitcoin telah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan, terutama dalam konteks investasi dan teknologi keuangan. Namun, di balik popularitasnya, terdapat sejumlah mitos seputar Bitcoin yang sering kali mengaburkan pemahaman masyarakat. Mitos-mitos ini dapat membentuk opini yang keliru dan menghalangi orang untuk memahami aset digital ini dengan lebih baik. Berikut lima mitos seputar Bitcoin dan menjelaskan fakta-fakta di baliknya, berdasarkan artikel di Forbes, karya Ansel Lindner.

Mitos seputar Bitcoin yang pertama yang paling umum adalah bahwa Bitcoin hanya digunakan untuk kegiatan kriminal. Persepsi ini muncul karena sifat transaksinya yang lebih sulit dilacak dibandingkan dengan transaksi uang biasa (fiat money), terlebih-lebih jika transaksi BTC tidak melibatkan dompet kripto di centralized crypto exchange (CEX) dan menggunakan metode penyamaran transaksi meggunakan mixer.

Ansel Lindner menyebut transaksi BTC ini relatif “tahan sensor”, memungkinkan transaksi sulit diawasi oleh pihak ketiga secara terus-menerus. Meskipun ada penggunaan ilegal yang melibatkan Bitcoin, data menunjukkan bahwa proporsi transaksi ilegal sangat kecil.

Lindner melansir laporan Chainalysis, pada tahun 2023, hanya 0,34 persen dari total volume transaksi kripto yang berasal dari aktivitas ilegal. Untuk memberikan perspektif, penggunaan mata uang fiat yang diterbitkan oleh negara dan melibatkan perbankan, jauh lebih besar dalam aktivitas kriminal, dengan estimasi global mencapai sekitar US$3,1 triliun. Dengan demikian, anggapan bahwa Bitcoin merupakan alat utama untuk kejahatan tidaklah akurat. Pun lagi saat ini metode penyelidikan dan pengungkapan tindak jinayah menggunakan kripto semakin canggih.

Chainalysis: Kejahatan Terkait Bitcoin Cs Akan Tertekan

Mitos kedua berhubungan dengan nilai intrinsik Bitcoin. Banyak kritikus berpendapat bahwa Bitcoin tidak memiliki nilai intrinsik karena tidak didukung oleh komoditas fisik atau tidak didukung secara legal oleh pemerintah. Namun, penting untuk dicatat bahwa semua nilai sebuah aset adalah subjektif dan ditentukan oleh pasar.

“Misalnya, air memiliki nilai tinggi saat dibutuhkan, tetapi nilainya bisa turun di daerah yang melimpah. Dalam konteks ini, Bitcoin, meskipun tidak fisik, memiliki karakteristik unik yang menciptakan permintaan, seperti pasokan yang terbatas dan resistensi terhadap sensor,” tuturnya.

Menakar Nilai Intrinsik Bitcoin

Selanjutnya, beralih ke mitos seputar Bitcoin yang ketiga mengenai dampak lingkungan dari Bitcoin. Kritik terhadap Bitcoin sering kali mengarah pada konsumsi energi yang tinggi dalam proses mining. Sementara memang benar bahwa Bitcoin mining membutuhkan banyak listrik, industri ini juga merupakan salah satu yang paling banyak menggunakan energi terbarukan.

Data terbaru menunjukkan bahwa sekitar 56 persen dari energi yang digunakan dalam mining Bitcoin berasal dari sumber terbarukan. Ansel Lindner merujuk pada data penelitan dari Cambridge.

Konsumsi listrik penambangan bitcoin secara global meningkat setiap tahun. Sumber: Cambridge.

Selain itu, Bitcoin mining juga berperan dalam mendukung proyek energi terbarukan dengan membantu mengurangi biaya selama fase prakomersial.

Dampak Lingkungan akibat Penambangan Bitcoin Tak Separah yang Dibayangkan

Mitos keempat yang sering beredar adalah bahwa Bitcoin tidak memiliki kegunaan di luar fungsi transaksi. Sebagian orang berpendapat bahwa Bitcoin hanya berfungsi sebagai alat pembayaran. Namun, Bitcoin memiliki sifat unik yang memberikannya nilai lebih. Pasokan Bitcoin yang terbatas, ketahanan terhadap sensor, dan kemampuannya untuk beroperasi di luar sistem keuangan tradisional memberikan Bitcoin peran yang lebih luas dalam ekonomi global. Hal ini menjadikan Bitcoin sebagai aset yang menarik bagi mereka yang mencari alternatif terhadap mata uang fiat.

Ansel Lindner memang tak memerinci terkait peran luas BTC itu dalam konteks mitos seputar Bitcoin, namun ini menyiratkan merujuk pada ETF Spot Bitcoin di AS sejak Januari 2024 lalu yang mencerminkan besarnya permintaan dari investor institusi. Terkait ini, raksasa BlackRock belum lama ini menegaskannya, termasuk peningkatan adopsi aset kripto secara global menurut penelitian terbaru Chainalysis.

Profesor AS: Bitcoin Lebih Baik daripada Emas

Terakhir, kelima, mitos bahwa Bitcoin lebih berbahaya dibandingkan mata uang fiat juga patut diperhatikan. Ada anggapan bahwa Bitcoin lebih rentan terhadap penggunaan untuk kegiatan ilegal. Namun, penelitian menunjukkan bahwa volume transaksi ilegal yang melibatkan Bitcoin sangat rendah dibandingkan dengan mata uang tradisional. Ini menunjukkan bahwa Bitcoin tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan sistem keuangan yang sudah ada, dan bahwa ada banyak faktor yang memengaruhi penggunaan mata uang untuk kegiatan kriminal.

Dengan memahami mitos seputar Bitcoin, kita dapat melihat aset digital ini dalam sudut pandang yang lebih objektif. Mitos-mitos ini sering kali menghalangi pemahaman yang lebih dalam tentang karakteristik dan potensi Bitcoin. Penting bagi kita untuk menggali informasi lebih lanjut dan membentuk pendapat berdasarkan fakta, bukan pada kesalahpahaman yang umum beredar.

Penting untuk diingat bahwa Bitcoin adalah inovasi yang kompleks dan terus berkembang. Seiring dengan pertumbuhan ekosistemnya, pemahaman kita juga harus berkembang. Mitos seputar Bitcoin hanyalah bagian dari perjalanan menuju pemahaman yang lebih baik tentang aset digital ini. Dengan informasi yang tepat, kita dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dan memanfaatkan potensi Bitcoin di masa depan.

Dengan membahas dan mengurai mitos seputar Bitcoin ini, diharapkan masyarakat bisa lebih terbuka dalam memahami Bitcoin sebagai salah satu aset keuangan yang mungkin akan memiliki peran penting dalam ekonomi global di masa mendatang. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait