IKLAN

Menyoal Deflasi dan Inflasi pada Bitcoin

Aset kripto Bitcoin menganut deflationary monetary system, berseberangan dengan sistem mata uang negara yang rentan inflasi pada skala waktu tertentu. Itulah sebabnya pasokan Bitcoin sangat terbatas, sedangkan mata uang biasa relatif tidak terbatas.

Inflasi pada dasarnya mengurangi nilai mata uang/aset. Sedangkan deflasi meningkatkannya. Dalam konteks mata uang biasa, rupiah atau dolar, berkat deflasi warga bisa membeli lebih banyak barang atau jasa dengan jumlah uang yang sama.

Inflasi sendiri terbagi dua jenis, yakni inflasi moneter (penambahan pasokan uang) dan inflasi harga (kenaikan harga barang dan jasa). Inflasi moneter menyebabkan inflasi terhadap harga. Bank sentral di seluruh dunia umumnya menargetkan inflasi harga sebesar 2 persen dan hal ini tidak bisa diukur secara kualitas.

Contohnya, untuk harga yang sama, ponsel tahun ini lebih canggih dibandingkan ponsel tahun lalu. Jika barang-barang lebih bagus 2 persen hari ini dan 2 persen lebih mahal dari tahun lalu, maka pertumbuhan per unit mutu, sejatinya nol, sehingga harga dianggap stabil.

Tidak Takut Inflasi, Mengapa Takut Deflasi?
Bitcoin memiliki suplai terbatas, di mana inflasi suplainya berkurang 50 persen setiap 4 tahun (Halving). Bitcoin bersifat deflasi, sebab sejumlah Bitcoin telah hilang, baik secara tidak sengaja maupun sengaja, sehingga pasokan Bitcoin berkurang setiap tahun.

BACA JUGA  Edan! Harga Bitcoin Diyakini Tembus US$1 Juta per BTC dalam 5 Tahun

Menurut perkiraan, Bitcoin akan mengalami deflasi jauh sebelum tahun 2140, ketika block terakhir ditambang. Ketika itu diperkirakan Bitcoin habis ditambang hingga mencapai pasokan maksimalnya, yakni 21 juta unit.

Pengusung deflasi harga umumnya menyoroti bahwa harga cenderung turun akibat persaingan dan kemajuan teknologi, sehingga deflasi adalah hal bagus.

Di sisi lain, inflasi harga akibat supply dan demand juga bagus, sebab harga yang meningkat akan mendesak masyarakat untuk menghemat sumber daya yang langka.

Adalah inflasi moneter yang bermasalah. Jika seseorang meningkatkan pasokan uang, hal itu meresahkan masyarakat.

Begitu pula dengan deflasi moneter yang bisa menyebabkan ketidaksetaraan dalam masyarakat, mengubah harga dan lainnya.

Bagi uang biasa yang diterbitkan negara (fiat money), deflasi harga juga bisa bermasalah. Di dunia di mana uang dibuat dari nol melalui hutang baru, harga yang turun membuat hutang menjadi lebih mahal, sebab daya beli riil meningkat sehingga hutang juga meningkat. Hutang ini di masa depan biasanya berupa pajak yang dibayarkan oleh generasi berikutnya.

Hal itu bisa memicu spiral deflasi, di mana jika hutang lebih mahal, maka akan lebih sedikit peminjaman yang terjadi dan uang lebih sedikit yang diciptakan. Deflasi moneter akan menyebabkan deflasi harga lebih lanjut dan seterusnya.

BACA JUGA  Analis Bloomberg: Harga Bitcoin Dapat Ungguli Bursa Efek

Fenomena tersebut juga berlaku bagi inflasi. Hutang baru menambah suplai uang dan mendongkrak harga sehingga hutang lebih murah.

Inflasi harga ini bisa dihambat dengan meningkatkan suku bunga. Lain halnya dengan deflasi, bank sentral tidak bisa memotong suku bunga, sehingga mereka harus mengandalkan quantitative easing (penambahan pasokan uang) dan suku bunga negatif.

Permasalahan tersebut hanya terjadi kepada uang fiat, di mana suplainya fleksibel ataupun tidak terbatasa.

Bitcoin berbeda, sebab suplainya terbatas. Memang hal itu menyebabkan deflasi moneter, tetapi dampaknya dapat diprediksi melalui blockchain yang menampilkan semua data dari awal hingga akhir dan secara realtime, terbuka dan transparan.

Harga barang dan jasa di “ekonomi Bitcoin” akan turun secara alami akibat persaingan dan inovasi.

Spiral deflasi tidak akan terjadi, sebab Bitcoin tidak berasal dari penerbitan hutang baru. Bahkan tingkat “suku bunga/return” akan menyesuaikan, hingga tercapai keseimbangan.

Hal ini sudah pernah terjadi pada ketika emas sebagai standar nilai tukar uang dunia. Harga barang dan jasa naik turun sesuai permintaan, tanpa penambahan atau pengurangan pasokan uang secara artifisial oleh bank sentral.

Penurunan harga dalam ekonomi Bitcoin dapat memunculkan masalah saat warga tidak biasa mengalaminya.

BACA JUGA  Total Konsumsi Listrik Tambang Bitcoin Kini Hampir Setara Belanda

Jika penghasilan menurun tetapi harga barang menurun lebih jauh, maka warga tetap tidak puas melihat penghasilannya berkurang.

Selain itu, hutang akan berkurang. Sebab hutang tidak berasal dari nol, harus ada yang menabung sebelum bisa meminjamkan.

Sistem ini berpotensi berjalan tanpa ada krisis ekonomi setiap periode seperti yang dialami sistem uang fiat saat ini.

Sebab itu, inflasi dan deflasi tidak bermasalah bagi Bitcoin. Inflasi dan deflasi hanya bermasalah bagi sistem ekonomi berbasis hutang “ghaib,” yaitu uang fiat. [blog.trezor.io/ed]


Disclaimer: Seluruh konten yang diterbitkan di Blockchainmedia.id, baik berupa artikel berita, analisis, opini, wawancara, liputan khusus, artikel berbayar (paid content), maupun artikel bersponsor (sponsored content), disediakan semata-mata untuk tujuan informasi dan edukasi publik mengenai teknologi blockchain, aset kripto, dan sektor terkait. Meskipun kami berupaya memastikan akurasi dan relevansi setiap konten, kami tidak memberikan jaminan atas kelengkapan, ketepatan waktu, atau keandalan data dan pendapat yang dimuat. Konten bersifat informatif dan tidak dapat dianggap sebagai nasihat investasi, rekomendasi perdagangan, atau saran hukum dalam bentuk apa pun. Setiap keputusan finansial yang diambil berdasarkan informasi dari situs ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pembaca. Blockchainmedia.id tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung, kehilangan data, atau kerusakan lain yang timbul akibat penggunaan informasi di situs ini. Pembaca sangat disarankan untuk melakukan verifikasi mandiri, riset tambahan, dan berkonsultasi dengan penasihat keuangan profesional sebelum mengambil keputusan yang melibatkan risiko keuangan.

Terkini

Warta Korporat

Terkait