BlockJakarta 2019 yang digelar Kamis (05/02) lalu dihadiri oleh berbagai kalangan dari industri kripto, baik dari pemerintah, startup, korporasi maupun umum. Salah satu sosok mencolok yang hadir di acara tersebut adalah Maria Harfanti, Miss World Indonesia 2015, yang kini bekerja di JAPFA Foundation dan sedang menjajaki penerapan blockchain.
JAPFA adalah perusahaan yang menghasilkan produk protein hewani. Bisnis ini melayani permintaan protein dari restoran-restoran dan juga menawarkan kebutuhan protein di tingkat ritel. Maria memegang posisi manajer di JAPFA Foundation yang fokus di bidang pendidikan agrikultur dan nutrisi untuk membantu menjalankan pilar-pilar inisiatif yayasan tersebut.
Sebagai manajer, wanita yang mewakili Indonesia di ajang Miss World 2015 tersebut menjajaki penerapan blockchain untuk rantai pasok (supply chain) bagi distribusi JAPFA sebagai salah satu perusahaan agribisnis terbesar di dalam negeri. Maria menjelaskan rencananya adalah menerapkan blockchain untuk melacak segala transaksi mulai dari peternak hingga ke tangan konsumen agar lebih transparan.
“Supaya tidak ada lagi perantara yang bisa markup harga,” jawabnya dalam wawancara dengan awak media BlockchainMedia di sela-sela acara BlockJakarta.
Perihal platform blockchain yang digunakan, Maria mengatakan akan mencoba memakai blockchain publik, tetapi hal tersebut masih diteliti oleh tim penelitian JAPFA Foundation. Hal tersebut cukup kontras dengan keputusan perusahaan barang konsumsi Nestle dan Carrefour yang memakai platform blockchain privat IBM untuk melacak lini produk kentang tumbuk baru-baru ini.
“Sebagai perusahaan yang sudah distribusi ke negara-negara Asia Tenggara, awalnya, kita akan coba pakai blockchain publik, tetapi kalau kurang memungkinkan, kita akan buat sendiri pakai blockchain privat,” tambah Maria.
Tujuan utama JAPFA menerapkan blockchain adalah agar tidak terjadi markup harga oleh perantara yang merugikan petani dan konsumen. Maria ingin petani diperlakukan lebih adil agar tidak terjadi jarak margin yang terlalu berbeda dengan harga jual petani.
“Petani bekerja lebih keras tetapi middle man yang dapat bagian lebih besar, itu yang ingin kami hilangkan. Dengan blockchain, rantai distribusi panjangnya tetap sama tapi lebih transparan dan hilang pengganggunya” jelas lulusan Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia itu.
Maria menyinggung soal HARA Token, proyek blockchain lokal yang juga berkaitan dengan pengelolaan data dari petani. Katanya, memang ada rencana JAPFA akan bekerjasama dengan HARA dan memakai data yang dikelola proyek blockchain yang berbasis Ethereum tersebut. Tetapi HARA masih memakai blockchain publik, sedangkan JAPFA ingin memakai blockchain privat.
Wanita berparas ayu kelahiran Yogyakarta itu juga menyoroti soal perusahaan Indonesia yang menggunakan blockchain.
“Setahu saya, perusahaan internasional sudah banyak yang menggunakan blockchain, seperti IBM yang memiliki digital ledger yang sudah canggih. Tetapi untuk lokal, saya belum tahu, sebagian besar masih startup yang fokus di protokol blockchain dan belum ke penerapannya.”
Hal tersebut disayangkan Maria, sebab ia berpendapat, potensi blockchain untuk Indonesia sangat bagus. Jika dilihat saat ini, sektor pemerintah sudah cukup mendukung adanya blockchain, tetapi ia berharap masyarakat indonesia lebih sadar tentang teknologi baru ini dan perusahaan-perusahaan besar lebih menerapkannya.
Sedangkan untuk kripto seperti Bitcoin dan Ethereum, Maria mengaku, “Untuk saya sendiri, belum punya.” [ed]