Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi membebaskan kewajiban pembayaran pungutan kepada para penyelenggara sektor Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto (IAKD) yang telah mengantongi izin dari lembaga tersebut sepanjang tahun 2025.
Kebijakan ini diambil setelah OJK memperoleh persetujuan dari Kementerian Keuangan, sebagai bagian dari strategi penguatan ekosistem IAKD di Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan dan IAKD OJK, Hasan Fawzi, menyatakan bahwa keputusan ini mempertimbangkan kondisi industri aset digital yang masih berada dalam tahap awal pengembangan.
“Penyesuaian pungutan OJK bagi penyelenggara di bidang IAKD adalah bentuk dukungan dan prioritas OJK dalam mengembangkan industri IAKD di Indonesia,” ujar Hasan dilansir dari Investortrust.id.
Dalam kebijakan tersebut, OJK menetapkan tarif pungutan sebesar 0 persen untuk tahun 2025. Peningkatan pungutan akan dilakukan secara bertahap mulai tahun-tahun berikutnya. Hal ini dinilai sebagai langkah afirmatif guna mendorong pertumbuhan sektor teknologi finansial berbasis aset digital.
Langkah ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang telah mengatur mengenai kewajiban pungutan bagi pelaku di sektor jasa keuangan.
Meski demikian, belum terdapat rincian nominal pungutan dalam aturan tersebut. Pasal 37 ayat 2 UU P2SK menyebutkan bahwa pelaku sektor keuangan wajib membayar pungutan, sementara ayat 3 bagian a menjelaskan bahwa dana hasil pungutan dapat digunakan langsung oleh OJK untuk kegiatan operasional.
Izin Kripto Tak Perlu Diulang, OJK Dorong Efisiensi Regulasi
Sebagai bagian dari upaya efisiensi, OJK juga menetapkan bahwa izin yang sebelumnya diberikan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) tetap berlaku.
Ketentuan tersebut diatur melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 27 Tahun 2024. Dengan demikian, pelaku usaha yang telah memiliki izin sebagai Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) tidak perlu mengulang proses perizinan saat berada di bawah pengawasan OJK.
Pungutan OJK sendiri mencakup berbagai aspek termasuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, pengawasan, serta penelitian dan transaksi perdagangan efek.
Meski belum ditetapkan besarannya, pembebasan pungutan untuk sektor IAKD ini diharapkan dapat memberikan ruang bernapas bagi pelaku usaha baru dan mendukung pertumbuhan investasi digital di Indonesia.
Jumlah Konsumen dan Transaksi Kripto Naik
Di sisi lain, OJK juga mencatat peningkatan jumlah investor kripto di dalam negeri. Per Mei 2025, jumlah konsumen tercatat mencapai 14,78 juta orang, naik 4,38 persen dari 14,16 juta pada periode yang sama tahun lalu.
“Per Mei 2025 tercatat jumlah konsumen berada dalam tren peningkatan,” ujar Hasan dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB), Selasa (8/7/2025).
Selain itu, nilai transaksi aset kripto turut melonjak menjadi Rp49,57 triliun atau naik 39,20 persen dibandingkan periode Mei 2024 yang sebesar Rp35,61 triliun.
“Tentu tren peningkatan jumlah konsumen maupun peningkatan nilai transaksi aset kripto ini menunjukkan kepercayaan konsumen dan juga kondisi pasar aset kripto nasional tetap terjaga dengan baik,” tambah Hasan.
Namun, meskipun volume transaksi naik, kapitalisasi pasar kripto di Indonesia mengalami penurunan. OJK mencatat, per Mei 2025, nilai kapitalisasi pasar tercatat sebesar Rp31,49 triliun, turun 8,38 persen dari Rp34,37 triliun pada Mei 2024.
OJK juga mengungkapkan bahwa hingga Juni 2025, terdapat 1.153 jenis aset kripto yang diperdagangkan di pasar domestik. Saat ini, penyelenggara pasar aset kripto terdiri atas satu bursa aset kripto, satu lembaga kliring, satu pengelola tempat penyimpanan (kustodian) dan 20 pedagang aset kripto (PAK) resmi. [st]