Dimaz Ankaa Wijaya
Peneliti pada Blockchain Research Joint Lab Universitas Monash, Australia
Di dalam sistem mata uang kripto, biaya transaksi adalah salah satu hal yang tidak terhindarkan. Hampir semua mata uang kripto tidak menggratiskan transaksi, dengan pengecualian. NEO misalnya, menggratiskan transaksi hingga batas-batas tertentu, sementara TRON memberikan kesempatan pada pengguna untuk mengirim transaksi gratis asal membekukan sejumlah TRX hingga minimum tiga hari.
Sebenarnya, penggunaan mata uang kripto untuk melakukan pembayaran kepada pihak lain secara umum hanya membutuhkan ongkos transaksi yang luar biasa kecil. Beberapa hari yang lalu, saya dan rekan-rekan melakukan survei kecil-kecilan terhadap ongkos transaksi di beberapa mata uang kripto seperti Bitcoin dan Ripple, yang dibandingkan dengan ongkos transaksi kartu kredit. Hasilnya bisa ditebak: mata uang kripto jauh mengungguli kartu kredit, dengan biaya transaksi yang tidak signifikan (antara Rp1 hingga Rp1.000) setiap transaksi, tidak peduli berapa jumlah dana yang dikirimkan.
Permasalahan ongkos transaksi barangkali akan muncul ketika data dalam jumlah besar harus disimpan dan dieksekusi oleh smart contract. Hal inilah yang seharusnya menjadi salah satu fokus utama produk-produk yang memanfaatkan ERC-20 sebagai token mereka. Dengan menggunakan standar token ERC-20 yang berjalan di dalam platform Ethereum, para pengguna masih harus dibebani ongkos transaksi berbentuk Ether yang wajib mereka tanggung sendiri. Artinya, selain harus membeli token, mereka juga harus punya Ether untuk mengirim informasi.
Padahal, tidak semua pemilik proyek tokenisasi ini memberikan edukasi yang cukup terkait tanggungan ongkos transaksi ini. Umumnya, para pembuat token menyerahkan ongkos transaksi kepada pengguna.
Persoalan ini sudah muncul di dalam komunitas Ethereum yang mencoba mencari solusi dengan berbagai cara. Salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah dengan menciptakan sebuah “proxy” atau perantara antara pemilik token dengan sistem blockchain. Proxy akan menerima informasi yang cukup dari pemilik token untuk mentransaksikan tokennya; dalam hal ini, proxy bertindak atas nama pemilik token dalam transaksi. Hanya saja, tanggung jawab penyedia proxy amatlah besar, karena amat rentan terhadap serangan yang barangkali saat ini belum diketahui, sebagaimana dijelaskan oleh pihak Chainsecurity.
Konstruksi smart contract sebagaimana yang ada pada Ethereum amatlah berbeda jika dibandingkan dengan model blockchain tradisional seperti Bitcoin. Bitcoin menyediakan fitur seperti multisignature yang dapat menggabungkan dua alamat berbeda ke dalam satu alamat tunggal baru, di mana alamat baru ini dapat mentransaksikan dana yang berasal dari kedua alamat tadi. Fitur ini bisa jadi amat dirindukan oleh mereka yang berusaha mengklaim token seharga $12ribu dari alamat ini yang private key-nya banyak beredar.
Di paragraf kedua dalam artikel ini saya menyampaikan betapa murahnya biaya transaksi dalam mata uang kripto. Sayangnya, hal ini tidak berlaku di dalam smart contract. Sebab, umumnya eksekusi smart contract membutuhkan sumber daya berupa media penyimpanan serta komputasi yang jauh lebih besar dibandingkan transaksi transfer dana biasa. Inilah yang menyebabkan ongkos transaksi membengkak bahkan hingga Rp20ribu apabila smart contract membutuhkan beberapa juta gas. Untuk sebuah transaksi, ongkos Rp20ribu amatlah tinggi, apalagi bila imbalan yang diberikan tidak setara dengan biaya yang dikeluarkan.
Tanpa mitigasi yang baik, ongkos transaksi bisa menjadi kendala yang amat terjal yang dialami oleh proyek-proyek ERC-20. Sebab, ongkos transaksi yang tinggi bisa membuat para penggunanya enggan menggunakan sistem yang telah susah payah dikembangkan, apalagi sistem yang amat bergantung pada kiriman data dari para stakeholder untuk dijual kembali kepada mereka yang membutuhkan.
Dengan kondisi yang ada sekarang ini, Ethereum masih amat sulit mendukung proposal feeless karena berbagai persoalan keamanan. Harapan sekarang ada pada Tron yang masih memberi kesempatan pada mereka yang membekukan transaksi untuk mendapatkan kesempatan mengeksekusi smart contract secara gratis, meskipun proyek besutan Justin Sun ini masih belum banyak mendapatkan panggung dalam segmen smart contract yang masih dikuasai Ethereum. []