OpenAI dan desainer legendaris Apple, Jony Ive, tengah menghadapi sejumlah hambatan dalam pengembangan perangkat kecerdasan buatan (AI) baru senilai Rp8.250 triliun.
Proyek ambisius ini, yang diperkirakan dapat mengubah cara manusia berinteraksi dengan teknologi, dilaporkan masih terkendala persoalan teknis serta infrastruktur yang dapat mengakibatkan penundaan peluncuran.
Berdasarkan laporan Financial Times, perangkat yang dirancang berbentuk kecil seukuran telapak tangan dan tidak dilengkapi layar itu rencananya akan mengandalkan interaksi audio dan visual untuk merespons lingkungan pengguna.
Namun, tantangan utama muncul pada sistem “selalu aktif” atau always on. Teknologi ini dirancang agar perangkat dapat siaga setiap saat, tetapi menghadapi kesulitan dalam menentukan kapan perangkat harus berbicara dan kapan seharusnya tetap diam, terutama dengan mempertimbangkan aspek privasi pengguna.
Selain itu, berbagai gangguan perangkat lunak atau software glitches juga dilaporkan menjadi hambatan signifikan. Perangkat masih mengalami kesulitan dalam menghasilkan respons yang tepat dan alami.
Di sisi lain, keterbatasan daya komputasi turut memperparah masalah, karena model bahasa besar seperti ChatGPT membutuhkan kapasitas komputasi yang sangat besar untuk bisa berjalan secara optimal.
Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana OpenAI dapat mengelola kebutuhan daya tersebut agar perangkat dapat dipasarkan secara luas.
Proyek AI Masih Eksperimental dengan Tantangan Teknis dan Hukum
OpenAI diketahui telah menggandeng Luxshare, salah satu pemasok besar Apple, untuk mendukung produksi massal perangkat tersebut. Namun, meskipun langkah ini menunjukkan keseriusan dari sisi manufaktur, proyek masih berada pada tahap eksperimental dengan banyak pekerjaan teknis yang belum terselesaikan.
Persoalan mendasar seperti perilaku perangkat atau “kepribadian” AI juga masih menjadi tantangan. Perangkat harus mampu membantu pengguna tanpa menimbulkan kesan mengganggu, sesuatu yang disebut sebagai kunci keberhasilan interaksi manusia dengan mesin di masa depan.
Di samping masalah teknis, persoalan hukum juga sempat membayangi proyek ini. OpenAI sebelumnya diperintahkan oleh pengadilan untuk menghapus penggunaan nama “io” pada materi pemasarannya karena konflik merek dengan sebuah perusahaan lain.
Implikasi Strategis OpenAI
Masuknya OpenAI ke ranah perangkat keras dinilai sebagai langkah strategis untuk memperluas pengaruh di luar layanan berbasis cloud.
Perangkat AI ini dipandang sebagai upaya perusahaan untuk menghadirkan cara baru dalam berinteraksi dengan teknologi, dengan visi menggantikan sebagian fungsi ponsel pintar. Jika proyek ini berhasil, perangkat tersebut berpotensi menjadi tonggak dalam revolusi AI konsumen.
Namun demikian, besarnya nilai investasi yang mencapai US$500 miliar atau sekitar Rp8.250 triliun menempatkan proyek ini dalam sorotan publik dan industri. Hambatan teknis dan hukum yang muncul memberi sinyal bahwa perjalanan menuju peluncuran produk masih panjang.
“Tantangan teknis utama harus diselesaikan sebelum perangkat dapat memasuki tahap produksi penuh,” ungkap tim OpenAI.
Dengan demikian, meskipun perangkat AI yang digagas OpenAI dan Jony Ive ini menjanjikan transformasi besar, berbagai persoalan yang ada memperlihatkan bahwa ambisi sebesar apa pun tetap membutuhkan waktu, sumber daya dan solusi matang agar dapat benar-benar terwujud.
Hingga saat ini, belum ada kepastian kapan perangkat tersebut akan resmi diluncurkan ke pasar. [st]
Disclaimer: Konten di Blockchainmedia.id hanya bersifat informatif, bukan nasihat investasi atau hukum. Segala keputusan finansial sepenuhnya tanggung jawab pembaca.