Decentralized Exchange (DEX) tanpa fee, StellarX telah menyelesaikan fase beta dan kini diluncurkan bagi publik pada Jumat (28/09), seperti dilansir Cointelegraph, Senin (01/10). Peluncuran tersebut diumumkan melalui blog Interstellar, perusahaan yang membangun StellarX.
Bursa tersebut, yang pertama kali diumumkan bulan Juli tahun ini, berbasis marketplace Universal Stellar. Stellar adalah protokol open source untuk transfer uang kripto ke uang fiat. Saat ini, Stellar Lumens (XLM) adalah kripto terbesar keenam, dengan kapitalisasi pasar mencapai US$4,8 milyar, menurut CoinMarketCap.
Menurut pengumuman itu, StellarX diposisikan sebagai jalur masuk fiat asli (real fiat onramp). Penggunanya dapat mendeposit dolar AS langsung dari rekening bank AS. Selain itu, bursa tersebut memiliki token digital untuk sejumlah mata uang fiat, seperti euro, yuan, dolar Hong Kong, poundsterling dan lain-lain.
Sebagai contoh, StellarX dapat menukar Peso Filipina untuk Litecoin, Litecoin ditukar surat obligasi, lalu obligasi ditukar XLM, dan semua transaksi tersebut terjadi dalam hitungan detik. Dalam blog-nya, StellarX mengungkapkan rencana menambah versi digital aset-aset lain, seperti obligasi, saham, properti, komoditas dan juga stablecoin. Saat ini, kripto-kripto terbesar BTC, ETH, XRP, LTC, dan BCH dapat diperdagangkan di platform StellarX.
StellarX, yang mirip dengan Robinhood, sebuah layanan keuangan berbasis AS yang meluncurkan perdagangan kripto tanpa fee Februari tahun ini, mengatakan pengguna dapat berdagang secara leluasa pada platform-nya tanpa terbeban biaya apa-apa. Hal ini memungkinkan, karena biaya jaringan Stellar sangat rendah, sehingga pihak StellarX dapat memberikan refund kepada pengguna.
Biaya transaksi di jaringan Stellar saat ini berkisar US$0,000002 atau sekitar Rp0,030, karena Stellar tidak memakai mekanisme konsensus Proof of Work, sehingga lebih hemat dari sisi energi dan biaya. StellarX dibangun di atas order book Stellar, di mana tidak ada pihak, baik itu bursa, penambang atau lainnya yang mengambil bagian transaksi.
Menanggapi peluncuran StellarX ini, Dimaz Ankaa Wijaya, peneliti blockchain di Universitas Monash, berkata bahwa platform tersebut tidak sepenuhnya terdesentralisasi.
“StellarX memerlukan fitur-fitur lain agar koin-koin ini bisa ditransaksikan. Semua harus melalui third party supaya bisa ditokenisasi. Artinya StellarX tidak benar-benar terdesentralisasi,” ujar Dimaz yang juga anggota Blockchain Nusantara.
Dimaz menjelaskan, StellarX sebagai DEX mirip dengan Etherdelta, tetapi berada di platform Stellar dan memakai sistem tokenisasi koin dari blockchain lain. Walaupun StellarX mendukung berbagai macam koin seperti bursa kripto lainnya, ia tetap membutuhkan pihak ketiga untuk tokenisasi.
Sementara tentang keunggulan bebas biaya yang dijawarakan StellarX, Dimaz berpendapat itu adalah bagian dari upaya promo, dan kemungkinan akan ada biaya di masa depan.
StellarX menekankan transparansi bagi penggunanya. Platform tersebut tidak menggunakan smart contract, dan proses tokenisasi dilakukan di lapisan protokol menggunakan template sederhana. Pengguna yang menerbitkan token dapat melihat siapa pelanggan mereka dan mengkonfirmasi identitasnya sebelum berinteraksi dengan token tersebut.
Demi memenuhi hukum know your customer (KYC), penerbit token dapat meminta dokumen identitas kepada orang yang ingin memperdagangkan tokennya. Di lain pihak, StellarX memberikan informasi yang mudah dibaca agar pengguna dapat memeriksa aset yang mereka miliki sebelum membuat keputusan. Dengan semua fitur tersebut, StellarX berharap dapat menjadi trading platform yang paling popular bagi para pelaku industri kripto. [ed]