Pasar obligasi Jepang saat ini tampaknya berada di titik kritis. Imbal hasil JGB 30 tahun terlihat mencetak rekor tertinggi, likuiditas menghilang, dan Perdana Menteri menyebut krisis fiskal Jepang kini lebih buruk dari Yunani.
Di tengah kekacauan ini, harga Bitcoin justru melonjak tajam dan berhasil mencetak rekor tertinggi baru. Apakah ini menjadi sinyal perubahan besar dalam lanskap keuangan global?
Krisis Obligasi Jepang Semakin Nyata
Pasar obligasi Jepang kini berada di ambang kehancuran. Berdasarkan laporan buletin keuangan The Kobeissi Letter, imbal hasil obligasi Jepang (JGB) tenor 30 tahun melonjak ke tingkat tertingginya sejak pertama kali diterbitkan pada 1999.
“Imbal hasil obligasi Jepang tenor 30 tahun secara resmi melonjak ke level tertinggi dalam sejarah, yaitu 3,15 persen. Selama puluhan tahun, Jepang dikenal dengan suku bunga jangka panjang yang rendah. Kini, mereka menghadapi inflasi tinggi, perubahan arah kebijakan, dan rasio utang terhadap PDB yang mencengangkan, yakni 260 persen,” tegasnya, Selasa (20/05/2025).

Tak hanya itu, salah satu media keuangan ternama, Zerohedge, melaporkan bahwa likuiditas untuk obligasi Jepang tenor panjang menghilang hanya dalam hitungan jam, mengejutkan para trader dan investor.
“Untuk hari kedua berturut-turut, pasar obligasi Jepang tidak memiliki penawaran beli—baik JGB 30 tahun maupun 40 tahun mencetak rekor imbal hasil tertinggi. Sementara itu, Bank of Japan bertindak seolah tidak ada yang terjadi,” tulis Zerohedge, Rabu (21/05/2025).
Kondisi ini telah diungkapkan oleh Perdana Menteri Shigeru Ishiba. Dilansir dari laporan sebelumnya, ia menyebut kondisi fiskal negaranya kini “lebih buruk dari Yunani,” sebuah pernyataan yang tentunya membuat pasar terkejut.
Dengan utang yang mendekati 260 persen dari PDB, inflasi tinggi dan juga tekanan terhadap investor domestik yang juga memegang sekitar US$1,1 triliun surat utang AS, kemungkinan penjualan aset luar negeri semakin besar—yang berpotensi memicu efek domino di pasar global.
Bitcoin Muncul Sebagai Jawaban
Di tengah hancurnya pasar obligasi jepang, komunitas kripto melihat peluang. Analis Bitcoin seperti Stack Hodler menyoroti kegagalan kebijakan Yield Curve Control (YCC) Jepang sebagai pelajaran pahit.
“Setiap bank, dana pensiun, dan perusahaan asuransi di Jepang kini memegang portofolio obligasi yang terbakar… Jika ini hasil dari YCC, mengapa ada investor rasional yang masih mau menahan surat utang negara?” tulisnya, Rabu (21/05/2025).
Dirinya menyimpulkan bahwa kepercayaan terhadap bank sentral tengah runtuh secara real time—dan ini menjadi salah satu katalis penting yang mendasari kenaikan harga aset langka seperti emas dan Bitcoin.
Senada dengan itu, Dan Tapiero, pendiri 10T Holdings, menilai lonjakan imbal hasil obligasi Jepang (JGB) sebagai salah satu sinyal kuat untuk bersiap menghadapi reli Bitcoin.
“Krisis ini mungkin diam-diam terjadi, tapi sangat bullish untuk emas dan Bitcoin,” tuturnya di X, Rabu (21/05/2025).
Harga Bitcoin Merespons dengan Positif
Respons pasar terhadap narasi runtuhnya JGB sangatlah nyata. Harga BTC melonjak hingga mencapai rekor tertinggi baru di kisaran US$111 ribu. Kenaikan ini bukan sekadar spekulasi, melainkan reaksi atas ketakutan bahwa aset utang negara sudah tidak lagi dianggap aman.

Ketika pasar obligasi Jepang, yang merupakan pasar terbesar kedua di dunia, mengalami dua hari berturut-turut tanpa penawaran beli, investor mulai mencari alternatif yang tidak bisa dicetak sembarangan. Bitcoin, dengan suplai maksimal hanya 21 juta koin, muncul sebagai solusi dari ketidakpastian tersebut.
Pertanyaannya kini, apakah ini menjadi tanda berakhirnya dominasi obligasi negara sebagai “aset bebas risiko”? Meski belum pasti, satu hal yang jelas adalah arus modal global mulai bergeser, mencari alternatif investasi yang lebih transparan dan dapat diandalkan. [dp]