Belum lama ini perusahaan auditor ternama, KPMG merilis hasil survei terbarunya, yang menunjukkan, pemimpin global di sektor teknologi berpandangan positif terhadap blockchain dan berencana menerapkan blockchain dalam tiga tahun ke depan. Kendati demikian, masih ada sejumlah tantangan yang menghambat adopsi blockchain.
KPMG mensurvei lebih dari 740 pemimpin global di industri teknologi dari 12 negara. Survei itu menemukan, 41 persen pemimpin teknologi ingin menerapkan blockchain ke dalam bisnis mereka dalam tiga tahun ke depan. Dari responden survei lainnya, 31 persen menyatakan netral, sehingga mungkin memakai blockchain atau tidak. Sedangkan 28 persen, mereka tidak akan menerapkan teknologi baru itu dalam tiga tahun ke depan.
Peraturan
Pegiat blockchain Indonesia punya pandangan positif terkait itu. Khusus di Indonesia, kata Teguh Harmanda Chief Community Officer (CCO) Tokocrypto.com, pada tahun ini di Indonesia akan banyak ‘mainan’ baru dan lebih seru, terlepas dari regulasi pemerintah Indonesia yang telah diterbitkan pada Desember 2018 dan Januari 2019 lalu.
Harmanda merujuk pada peraturan Menteri Perdagangan RI dan peraturan Bappebti soal aset kripto sebagai subjek perdagangan komoditi berjangka. Otoritas Jasa Keuangan (POJK) pada Januari 2019 lalu juga telah menerbitkan peraturan soal urun dana saham (equity crowdfunding) bagi startup menggunakan teknologi informasi. Dalam peraturan itu disebutkan, diperbolehkan menggunakan teknologi blockchain publik ataupun privat.
“Tahun 2019 ini juga pelaku industri berlomba-lomba untuk membangun citra menjadi perintis dengan membuat produk bermutu baik, menggunaan blockchain publik ataupun privat. Ini yang membuat saya seakan-akan lupa tentang jatuhnya harga kripto pada tahun 2017 dan 2018,” kata Harmanda bersemangat.
Sebelumnya, kepada BlockchainMedia, Ketua Himpunan Pemerhati Hukum Siber Indonesia (HPHSI) Galang Prayogo mengatakan, saat ini penggunaan kripto di Indonesia masih abu-abu lantaran ketiadaan regulasi, membuat nilai tukar fluktuatif dengan sangat cepat. Menurutnya, salah satu faktor yang mendorong peningkatan jumlah pengguna Bitcoin dan kripto lainnya adalah dengan mengesahkan peraturan untuk aturan main mata uang uang kripto sebagai jaminan hukum para pelaku mata uang kripto.
“Regulasi dari pemerintah bisa menjadi stimulus yang optimal untuk menghidupkan kembali pasar Bitcoin,” kata Galang dalam keterangan resmi, awal Januari ini lalu.
Perlu konsentrasi dan konsultasi
Senada dengan Harmanda, Merlina Li CEO Senarai, perusahaan konsultan blockchain yang berbasis di Jakarta berpendapat, hasil survei KPMG itu cukup bagus.
“Hasil survei itu sangat menggambarkan kondisi pasar saat ini. Hambatan terbesar blockchain salah satunya di bagian user interface (UI) dan user experience (UX). Hal lainnya terlalu banyak proyek blockchain hanya bermain tingkatan protokol. Di titik ini perlu banyak edukasi yang lebih sistematis dan terus menerus, baik terhadap pemerintah, perusahaan dan masyarakat awam. Ini sangat penting dilakukan agar penerapannya membantu efisiensi,” ujar Merlina.
Merlina juga menegaskan, pemilik usaha harus menyadari bahwa tidak semua bagian dari proses bisnis perlu “di-blockchain-kan”. Hanya bagian tertentu dari model bisnis yang perlu diubah. Kata Merlina, jikalau hal ini dapat dimengerti secara menyeluruh, maka kerumitan dapat dihindari.
“Saya pikir pangkal dari semua ini adalah kekurangpahaman masyarakat seputar teknologi blockchain, akibat dari proses edukasi kepada publik yang kurang sistematis. Inilah yang berdampak pada munculnya sejumlah persepsi keliru, bahwa blockchain secara tunggal serta merta membantu pertumbuhan ekonomi negara. Padahal ada variabel lain di sistem tradisional yang harus dipadupadankan dengan blockchain. Lihat saja JPMorgan Chase yang dulunya ‘memaki-maki’ Bitcoin dan kripto, pada akhirnya membuat kripto mereka sendiri. Dan saya yakin itu pasti didahului dengan sejumlah penelitian yang mumpuni,” pungkasnya Merlina sembari menekankan pentingnya perusahaan tradisional untuk menjalin kemitraan dengan perusahaan konsultan blockchain dalam negeri.
Tokenized Economy
Medio Februari lalu, Rahmat Waluyanto, mantan Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2012-2017 berpendapat, industri kripto memiliki prospek yang cerah, tidak hanya secara global, tetapi juga di Indonesia.
Rahmat yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mengatakan, kapitalisasi pasar industri aset digital atau aset kripto mencapai sekitar US$211 miliar secara global. Sementara, pengumpulan dana dari kegiatan Initial Coin Offering (ICO) sampai akhir tahun lalu mencapai US$15 miliar.
“Inilah yang disebut sebagai tokenized economy. Dan itu memberikan dampak banyak sekali, sekaligus di situ ada peluang dan tantangan,” ujarnya saat memberikan kata sambutan pada acara ulang tahun ke-5 Indodax di Jakarta, Jumat (15/2).
Salah satu peluangnya, lanjut Rahmat adalah, bagaimana industri ini bisa memperkuat sistem keuangan dunia bahkan Indonesia.
“Yang penting kita bisa mengelola berbagai potensi risiko yang muncul. Tokenized economy juga dapat membuat financial deepening menjadi lebih baik. Kemudian, ini juga mampu mendukung financial inclusion. Memang aset kripto bukanlah instrumen keuangan di Indonesia untuk saat ini, karena exchange berada di bawah kewenangan Bappebti, karena dianggap sebagai komoditas, bukan financial asset. Tetapi, kalau kita lihat perkembangannya di luar negeri, aset kripto juga diperdagangkan di bursa pasar modal, bursa saham,” ujarnya. [vins]