Untuk kali pertama kali di dunia, Pemerintah Amerika Serikat (AS) menawarkan imbalan berupa kripto bagi siapa saja yang memberikan informasi solid terkait kejahatan dunia maya.
“Departemen Luar Negeri AS menawarkan imbalan hingga US$10 juta untuk informasi yang mengarah pada identifikasi atau lokasi siapa pun yang, saat bertindak atas arahan atau di bawah kendali pemerintah asing, terkait dalam aktivitas siber berbahaya terhadap infrastruktur penting Amerika Serikat…. Hadiah termasuk dalam bentuk kripto,” sebut Kementerian Luar Negeri AS di situs resminya, Kamis (15/7/2021) lalu.
Rewards Up To $10 Million!
For information on foreign malicious #cyber operations targeting U.S. critical infrastructure.
Submit info on these illegal activities via Tor at https://t.co/WvkI416g4W
You may be eligible for a reward. ⚖ 💰 pic.twitter.com/BjftNvC5bc
— Rewards for Justice (@RFJ_USA) July 15, 2021
Jika Anda punya informasi penting dan berharga terkait kejahatan yang mengganggu sistem di AS, Anda wajib menghubungi Kementerian Luar Negeri AS lewat situs di Browser TOR di domain ini.
“Sejak dimulai pada tahun 1984, program ini telah membayar lebih dari US$200 juta kepada lebih dari 100 orang di seluruh dunia yang memberikan informasi yang dapat ditindaklanjuti yang membantu mencegah terorisme, membawa para pemimpin teroris ke pengadilan, dan menyelesaikan ancaman terhadap keamanan nasional AS,” sebut AS.
Kasus Ransomware Tahun 2021 Lebih Sedikit
Berdasarkan data dari Chainalysis, Kasus ini meningkat pada tahun 2020 lalu yang mencapai nilai US$412 juta. Bandingkan tahun 2019 hanya US$93 juta. Kendati pada tahun 2021, harga Bitcoin dan kripto lain naik, kasus ransomware malah jauh lebih kecil daripada tahun lalu, yakni hanya US$127,10 juta.
Imbalan kripto ini beberapa pekan setelah kasus ransomware yang menyerang sistem informasi perusahaan Colonial Pipeline.
Dalam kasus itu pemerintah AS berhasil mengembalikan dana tebusan berupa Bitcoin dari para pelaku yang disebut-sebut berada di wilayah Rusia.
Kasus serupa juga menyerang Kaseya yang menyebkan ribuan komputer milik pelanggannya terinfeksi.
Kelompok peretas REvil mengklaim telah menginfeksi sistem komputer sejumlah perusahaan. REvil meminta tebusan berupa Bitcoin (BTC) setara US$70 juta atau setara Rp1 triliun. Tebusan berupa BTC sangat janggal, karena lebih mudah dilacak.
Dilansir dari BBC, Senin (5/6/2021), REvil mengklaim, bahwa mereka adalah dalang di balik peretasan sistem komputer beberapa perusahaan IT.
Perusahaan keamanan siber, Huntress Labs memperkirakan 200 perusahaan sudah jadi korban serangan masif itu.
Pangkalnya adalah dari peretasan sistem di perusahaan Kaseya itu, sehingga ratusan sistem komputer klien juga kena getahnya.
Jumlah Korban Bisa Ribuan
Fred Voccola CEO Kaseya, kepada Associated Press mengatakan, jumlah korban mungkin akan mencapai ribuan, terdiri dari organisasi kecil seperti klinik kedokteran gigi dan perpustakaan.
“Walaupun tim Kaseya sudah menutup sejumlah celah, namun REvil jauh lebih cepat, sehingga infeksi tidak dapat dihindarkan,” kata Victor Gevers dari Dutch Institute for Vulnerability Disclosure.
Bahkan ketika Hari Kemerdekaan AS, pada 4 Juli 2021 lalu sejumlah ancaman serupa bermunculan.
Serangan siber berupa ransomware, memang sangat mengkhawatirkan, karena data sama sekali tidak bisa diakses karena sudah dienkripsi oleh peretas.
Satu-satunya jalan adalah membayar tebusan, lazimnya dalam bentuk Bitcoin, lalu peretas akan menyerahkan software khusus, agar data bisa kembali normal.
Dalam modus lain, peretas malah mengancam korban dengan akan menjual data-data penting itu.
Perusahaan keamanan siber, Chainalysis pekan lalu menilai, kasus seperti ini akan terjadi terus jika perusahaan tidak meningkatkan anggaran memperbaiki sistem mereka.
Chainalysis bahkan menyarankan kerjasama penuh antara pemerintah dan perusahaan swasta untuk melawan kejahatan jenis ini.
Chainalysis sendiri terkenal sebagai perusahaan yang membantu AS menanangi kasus Silk Road pada beberapa tahun lalu, guna melacak transaksi Bitcoin yang digunakan untuk pencucian uang. [red]