Teknologi blockchain kini tak lagi eksklusif di ranah keuangan atau kripto. Seorang anggota Dewan Perwakilan Negara Bagian New York, Clyde Vanel, mengajukan sebuah rancangan undang-undang yang cukup mencuri perhatian.
Melalui Assembly Bill A7716 yang diajukan pada 8 April 2025, Vanel mengusulkan dilakukannya riset secara lebih mendalam mengenai potensi penggunaan blockchain dalam proses pemilu.
“Dewan Pemilihan Negara Bagian, dengan berkonsultasi dan menggunakan data yang dikumpulkan oleh Kantor Layanan Teknologi Informasi, akan mempelajari dan mengevaluasi penggunaan teknologi blockchain untuk melindungi data pemilih dan hasil pemilu,” jelas dokumen tersebut.

RUU yang saat ini berada di bawah kajian Komite Hukum Pemilihan Umum, menuntut laporan komprehensif dalam waktu satu tahun. Laporan tersebut akan membahas kemungkinan penerapan distributed ledger technology (DLT) sebagai alat untuk menjaga integritas pemilu.
Kolaborasi Lintas Lembaga dan Ahli Teknologi
Untuk memastikan kajian berlangsung menyeluruh, RUU ini mewajibkan Dewan Pemilihan untuk bekerja sama dengan Kantor Layanan Teknologi Informasi serta para ahli di bidang teknologi blockchain, keamanan siber dan sistem pemilu.
Jika RUU ini berhasil melaju, prosesnya akan cukup panjang—harus disetujui oleh majelis penuh, kemudian disahkan oleh Senat, dan pada akhirnya ditandatangani oleh Gubernur.
Ini bukan pertama kalinya Vanel mengajukan legislasi semacam ini. Sejak 2017, versi lain dari RUU ini telah muncul dalam beberapa sesi legislatif, termasuk Assembly Bill A8792. Namun hingga kini, belum ada satupun yang berhasil mencapai meja Gubernur.
Meski demikian, dengan arah politik yang mulai menunjukkan sikap lebih terbuka terhadap kripto, khususnya setelah naiknya Donald Trump, RUU terkait penggunaan distributed ledger technology (DLT) dalam pemilu diprediksi akan mendapat perhatian lebih serius.
Contoh Nyata Penerapan Teknologi Blockchain
Berdasarkan laporan Bitcoin Magazine, pada November 2018, Partai Demokrat Thailand telah menggunakan sistem e-voting berbasis teknologi blockchain dalam pemilihan internal partainya.
Lebih dari 120.000 pemilih berpartisipasi secara transparan melalui sistem yang menyimpan data pemilih dan hasil suara di InterPlanetary File System (IPFS), sebuah jaringan penyimpanan data terdesentralisasi.
Sistem ini memungkinkan transparansi dan keabsahan data pemilihan yang tidak dapat dimanipulasi, menjadi bukti bahwa distributed ledger technology (DLT) bukan lagi wacana, tetapi sudah terbukti secara fungsional.
Peluang dan Tantangan di Depan Mata
Apakah RUU ini akan disahkan? Masih menjadi pertanyaan. Namun, dengan meningkatnya kekhawatiran publik terhadap keamanan dan kejujuran pemilu, usulan ini datang pada momen yang tepat.
Teknologi blockchain menawarkan solusi yang lebih aman, terdesentralisasi, dan tahan dari berbagai manipulasi—karakteristik yang saat ini sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi modern.
Jika terbukti efektif dan diadopsi secara lebih luas, blockchain bisa menjadi fondasi baru dalam penyelenggaraan pemilu, bukan hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di seluruh dunia, termasuk Indonesia. [dp]