Penguatan Dolar AS di Tengah Perang, Ilusi Sementara?

Penguatan dolar AS setelah pecahnya konflik Israel-Iran kembali menegaskan peran mata uang ini sebagai aset aman. Namun, apakah kenaikan ini akan bertahan lama? Jawabannya tidak sesederhana itu—sejarah menunjukkan bahwa dinamika tersebut jauh lebih kompleks.

Eskalasi Konflik dan Lonjakan Dolar AS

Ketegangan geopolitik memuncak setelah Israel meluncurkan serangan ke Iran pada 13 Juni 2025 dalam operasi militer bertajuk Rising Lion. Serangan tersebut menargetkan sejumlah fasilitas strategis, termasuk instalasi nuklir utama di Natanz, Isfahan, dan Fordow, serta kompleks rudal dan infrastruktur militer lainnya.

Reaksi pasar keuangan berlangsung cepat dan tegas. Penguatan dolar AS terjadi secara signifikan, didorong oleh lonjakan permintaan terhadap obligasi pemerintah yang kembali dipandang sebagai aset aman di tengah ketidakpastian geopolitik.

Indeks Dolar (DXY), yang menjadi tolok ukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia, melonjak dari level 97 ke 99 hanya dalam beberapa hari. Lonjakan ini mencerminkan respons klasik investor global setiap kali krisis terjadi—lari menuju mata uang perlindungan.

Data dari FXStreet menunjukkan DXY mencapai puncaknya di level 99,07 pada 20 Juni 2025, dan masih bertahan di kisaran 98,93 hingga 23 Juni. Ini menjadi penguatan tercepat DXY dalam satu bulan terakhir.

Penguatan Dolar AS Pasca Serangan Israel ke Iran - TradingView
Penguatan dolar AS pasca serangan Israel ke Iran. Sumber: TradingView

Fenomena ini sekaligus mempertegas posisi dolar sebagai pilihan utama saat gejolak terjadi. Namun, pertanyaannya kini mengemuka: apakah lonjakan ini akan bertahan, atau justru hanya menjadi pantulan sesaat?

Sejarah Berbicara: Penguatan Dolar AS Tak Bertahan Lama

Lonjakan dolar AS saat perang bukan hal baru. Indeks DXY diperkenalkan sejak 1973, setelah Nixon Shock yang mengakhiri keterikatan dolar pada emas, menjadi tolok ukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama.

Dalam sejarah, dolar AS menguat saat terjadi konflik besar seperti Perang Dunia I dan II, didukung oleh dominasi ekonomi serta perannya dalam perdagangan dan rekonstruksi pasca perang. Namun, penguatan tersebut melemah ketika pembiayaan perang dilakukan melalui defisit yang besar.

Selama Perang Korea dan Vietnam, pembiayaan perang lewat defisit yang terus-menerus memberi tekanan pada dolar AS dan cadangan emas. Tekanan ini menjadi salah satu faktor utama runtuhnya sistem Bretton Woods pada 1971. 

Setelah sistem tersebut berakhir, pada periode 1974–1975, Indeks Dolar (DXY) menunjukkan respons yang dinamis dengan fluktuasi nilai akibat penyesuaian pasar terhadap sistem nilai tukar baru.

Selanjutnya, selama Perang Teluk 1990–1991, kenaikan nilai dolar AS terjadi di awal konflik. Namun, lonjakan ini tidak bertahan lama dan kembali stabil setelah perang berakhir. Pola serupa terlihat pasca tragedi 9/11, saat DXY menembus level tertinggi 118,54 pada 2001.

Namun, menurut laporan Brown University, beban fiskal jangka panjang dari Perang Afghanistan saja telah menelan biaya lebih dari US$2,3 triliun—membuat mata uang AS melemah secara bertahap. Pada 2007, DXY bahkan turun hingga level 76,70.

Biaya Perang AS di Afghanistan - Brown University
Biaya Perang AS di Afghanistan – Brown University

Fakta ini menunjukkan bahwa penguatan dolar AS saat perang hanya akan bertahan jika pemerintah mampu mengelola dampak fiskalnya dengan baik dan menjaga stabilitas ekonomi secara menyeluruh.

Namun demikian, data lain ini mungkin layak diperhatikan, karena dalam 12 bulan mendatang, dolar masih kuat dengan tajinya. Pada Senin, 23 Juni 2025, nilai indeks dolar AS (DXY) naik tipis sebesar 0,09 persen ke level 99,0023 dibandingkan sesi sebelumnya.

Dalam sebulan terakhir, dolar AS telah melemah sebesar 0,08 persen, dan tercatat turun 6,17 persen dalam kurun 12 bulan terakhir. Berdasarkan model makro global dan proyeksi analis TradingEconomics, nilai dolar diperkirakan akan berada di kisaran 98,83 pada akhir kuartal ini, dan mencapai 99,18 dalam 12 bulan mendatang.

Proyeksi DYX dalam 12 bulan mendatang
Proyeksi DYX dalam 12 bulan mendatang. Sumber: TradingEconomics.

Tantangan Baru: Utang dan De-dolarisasi

Konteks geopolitik saat ini lebih kompleks. Utang AS sudah melebihi US$37 triliun, menjadi risiko jika konflik Israel-Iran berlanjut panjang. Pembiayaan perang lewat defisit besar atau pencetakan uang dapat menurunkan kepercayaan pasar pada dolar.

Selain itu, dolar menghadapi tekanan dari luar negeri. Penggunaan dolar sebagai alat sanksi mendorong Rusia dan Tiongkok mempercepat de-dolarisasi, mengurangi ketergantungan pada dolar dalam perdagangan internasional.

BRICS juga membangun sistem pembayaran berbasis mata uang lokal yang berpotensi mengurangi dominasi dolar dalam perdagangan global. Langkah ini menjadi tantangan struktural di tengah upaya de-dolarisasi yang semakin meluas.

BRICS vs Dolar AS: Apa Ancaman Trump yang Mengejutkan?

Meski begitu, AS diuntungkan sebagai eksportir energi bersih, membuatnya lebih tahan terhadap lonjakan harga energi yang memicu inflasi saat perang. Bank for International Settlements menyatakan hal ini membuka peluang penguatan nilai dolar AS bertahan meski tekanan geopolitik meningkat.

Dengan berbagai tantangan yang ada, penguatan dolar AS bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola fisklanya. Dolar kemungkinan akan terus berperan penting dalam perekonomian global, meski harus menghadapi dinamika yang semakin kompleks. [dp]

Terkini

Warta Korporat

Terkait