Pakar hukum siber Galang Prayogo menilai Peraturan Bappebti soal aset kripto masih lemah. Menurutnya, peraturan itu belum secara jelas mengatur soal tata cara penarikan pajak dari aset kripto. Padahal potensi pasar aset kripto di Indonesia sangatlah besar.
“Dalam Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka tertulis pada pasal 3 ayat 2 huruf e yang menyatakan bahwa: “Aset kripto dapat diperdagangkan apabila memiliki manfaat ekonomi, seperti perpajakan, menumbuhkan industri informatika dan kompetensi tenaga ahli di bidang Informatika. Peraturan tersebut belum secara jelas mengatur soal tata cara penarikan pajak aset kripto,” ujar Galang, seperti yang dilansir dari JPNN.
Menurut Galang, masih terdapat celah hukum untuk menghindari pajak, pada akhirnya menjadikan peraturan ini tidak aplikatif.
Dia mengatakan ada dua kelemahan peraturan tersebut. Pertama, ketidakjelasan jenis pajak yang dikenakan, apakah termasuk pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai atau merupakan pajak barang dan jasa.
“Kedua tidak terpadu dengan Ketentuan Umum Perpajakan. Di dalam teori dasar perpajakan, tuturnya, hukum pajak haruslah diatur melalui lembaga legislatif, sebab jika pajak ditarik tanpa representasi, maka pajak tersebut dapat dikatakan tidak memenuhi syarat materil maupun syarat formil dalam penarikanya,” tambah Galang.
Dalam peraturan tersebut, kata dia, masih buram mengenai sanksi yang dikenakan jika terjadi tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan aset kripto.
“Lebih lanjut, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, juga tidak disebutkan di dalamnya penggunaan aset kripto sebagai sarana pencucian uang,” pungkas Galang. [JPNN/red]