Indonesia bisa disebut sebagai negara yang ramah aset kripto karena perdagangannya dilindungi oleh negara melalui undang-undang dan sejumlah peraturan.
OLEH: Teguh Harmanda
COO Bursa Aset Kripto Tokocrypto
Oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Bitcoin dan sejumlah cryptocurrency (istilah lazim di luar sana) lainnya, masuk dan ditetapkan dalam kategori komoditi (commodity), sub kategorinya adalah digital asset dan sub-sub kategorinya disebut crypto asset atau aset kripto. Makna sederhana dari aset kripto ini adalah: “aset berwujud digital berbasis kriptografi yang diproses menggunakan teknologi blockchain“.
Pengakuan itu, aset kripto sebagai komoditi, tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 Tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto.
Aset kripto sebagai komoditi, dalam kacamata kementerian adalah dapat dijadikan sebagai subjek perdagangan di pasar/bursa berjangka (futures market) di Indonesia.
Saat ini, bursa berjangka Jakarta Futures Exchange (JFX) misalnya memperdagangkan sejumlah produk kontrak berjangka (subjek perdagangan), misalnya emas, olein, kakao, kopi dan indeks emas.
Dengan kata lain, peraturan itu adalah bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan dan popularitas Bitcoin dan sejumlah aset kripto lain, termasuk pengakuan terhadap cara ia diperdagangkan. Hal itu juga berarti aset kripto bukanlah alat pembayaran, selayaknya uang ataupun mata uang (legal tender).
Itulah sebabnya, peraturan menteri itu diperkuat secara khusus melalui sejumlah peraturan oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi), yaitu yang terutama dan perdana adalah Peraturan Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka.
Catatan penting di sini adalah, secara hirarkis Bappebti bertanggungjawab langsung kepada Menteri Perdagangan RI khusus tentang pasar berjangka dan hal-hal terkait dengan itu, termasuk pasar fisik (spot maket) aset kripto.
Hadirnya peraturan itu menjadi salah satu dasar kepastian hukum dan juga dasar perlindungan hukum baik bagi pedagang (exchange) maupun pelanggan (nasabah) aset kripto di wilayah hukum Indonesia.
Dalam Pasal 2 peraturan tersebut juga dikatakan bahwa perdagangan aset kripto memerhatikan perlindungan Pelanggan Aset Kripto, sebagai berikut:
a. Aset kripto dapat diperdagangkan apabila telah dilakukan penilaian risikonya, termasuk risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal.
b. Aset kripto milik Pelanggan Aset Kripto wajib dijaga keamanannya oleh Pedagang Fisik Aset Kripto.
c. Syarat untuk mendapatkan persetujuan dari Bappebti untuk menjadi Pedagang Fisik Aset Kripto yang terkait dengan perlindungan Pelanggan Aset Kripto adalah:
· Memiliki struktur organisasi minimal Divisi Informasi Teknologi, Divisi Audit, Divisi Legal, Divisi Pengaduan Pelanggan Aset Kripto, Divisi Client Support, dan Divisi Accounting dan Finance.
· Memiliki standar operasional prosedur (SOP) minimal mengatur tentang pemasaran dan penerimaan Pelanggan Aset Kripto, pelaksanaan transaksi, pengendalian dan pengawasan internal, penyelesaian perselisihan Pelanggan Aset Kripto dan penerapan program anti pencucian uang (APU) dan pencegahan pendanaan terorisme (PPT) serta proliferasi senjata pemusnah massal.
· Memiliki sistem dan/atau sarana perdagangan online yang dapat memproteksi akses data keuangan dan data transaksi setiap Pelanggan Aset Kripto.
d. Pedagang Fisik Aset Kripto wajib menyampaikan pemberitahuan adanya risiko seperti risiko fluktuasi harga, risiko kegagalan sistem, dan risiko terkait lainnya serta membuat perjanjian Pelanggan Aset Kripto (user agreement).
e. Untuk Pedagang Fisik Aset Kripto yang dibatalkan Persetujuannya oleh Bappebti, maka wajib melakukan hal berikut:
· Mengalihkan Pelanggan Aset Kripto, dana, dan Aset Kripto milik Pelanggan Aset Kripto kepada Pedagang Fisik Aset Kripto lain yang telah memperoleh persetujuan sebagai Pedagang Fisik Aset Kripto; atau
· Mengembalikan dana dan/atau menyerahkan Aset Kripto milik Pelanggan Aset Kripto yang dikelolanya, dan dilarang menerima Pelanggan Aset Kripto yang baru.
Tolak Ukur Beli-Jual Aset Kripto
Selain Peraturan Bappebti itu, ada juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008Â tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal ini menjadi penting, karena Pedagang Fisik Aset Kripto melakukan bisnisnya melalui Internet dan termasuk sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik.
Pada pasal 9 UU ITE dikatakan bahwa setiap pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
Dengan demikian, jangan sampai ada Pelanggan Fisik Aset Kripto yang dirugikan akibat ketidaktahuan akan risiko dari aset kripto.
Dengan perkembangan industri aset kripto yang semakin pesat, semakin perlu juga dilakukan edukasi mengenai aset kripto, baik terhadap Pelanggan Aset Kripto maupun masyarakat yang belum mengenal aset kripto.
Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penipuan atau cyber–crime lainnya kepada masyarakat yang tertarik atau sudah melakukan jual beli aset kripto.
Oleh karena hal tersebut, usaha negara melalui pemerintah dengan mengeluarkan peraturan para Pelanggan Aset Kripto (pengguna) juga harus memiliki pemahaman yang mumpuni mengenai aset kripto, sehingga dapat mengantisipasi terjadinya kerugian di kemudian hari.
Dapat disimpulkan bahwa negara, melalui Pemerintah Indonesia (menteri perdagangan dan Bappebti) sudah sangat baik melakukan usahanya untuk melindungi Pelanggan Aset Kripto melalui Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 itu.
Demi mencegah kerugian yang dialami oleh Pelanggan Aset Fisik Kripto, sebaiknya pilihlah Pedagang Fisik Aset Kripto yang sudah terdaftar di Bappebti. Itu bermakna, misalnya Tokocrypto.com, sudah mengikuti peraturan Bappebti untuk melakukan perlindungan terhadap penggunanya. [*]