Perusahaan itu, Travelex yang bermarkas di London, terpaksa membayar tebusan kepada peretas senilai US$2,3 juta (Rp36 miliar) dalam bentuk Bitcoin (BTC).
Tebusan itu dikirimkan Travelex setelah menderita serangan ransomware pada 11 Januari 2020 lalu. Menurut sumber yang dikutip oleh The Wall Street Journal pada 9 April 2020, jaringan komputer perusahaan itu disusupi oleh dedemit dunia maya dengan ransomware pada malam Tahun Baru 2020. Travelex dikenal sebagai gerai pertukaran mata uang asing.
Travelex memastikan serangan itu kepada media tak lama setelah itu terjadi. Namun, mereka tidak mengungkapkan bahwa mereka ternyata telah membayar tebusan sekitar 285 Bitcoin, setelah sistem mereka padam selama beberapa minggu.
Serangan itu, yang disebut Sodinokibi (atau “revil”), adalah serangan malware yang juga pernah menyerang sejumlah perusahaan lain pada awal tahun ini, seperti CDH Investment, di London.
Serangan Ransomware COVID-19 Meningkat
Pihak berwenang Amerika Serikat telah memperingatkan, bahwa peretas lebih aktif di tengah pandemi COVID-19, yang telah memaksa banyak karyawan perusahaan untuk bekerja dari rumah.
Laporan itu menyebutkan, bahwa para penjahat dunia maya sedang mencari kerentanan dalam jaringan perusahaan, yang saat ini tidak dipantau secara ketat.
Investigasi Masih Berlangsung
Seorang juru bicara Travelex kepada Wall Street Journal mengklarifikasi bahwa penyelidikan oleh otoritas Inggris masih berlangsung, meskipun ia menolak berkomentar lebih lanjut tentang serangan ransomware itu.
Perlu dicatat bahwa membayar tebusan di Inggris tidaklah ilegal. Namun, Badan Kejahatan Nasional Inggris sangat menyarankan agar para korban menahan diri untuk tidak memenuhi tuntutan para penjahat. [WSJ/red]