Menjelang Juni 2025, Bitcoin (BTC) tengah mengalami fase konsolidasi usai mencetak ATH baru di US$112.000 atau sekitar Rp1,82 miliar (di beberapa exchange). Namun, dalam 24 jam terakhir pada beberapa hari sebelumnya, harga terkoreksi lebih dari 3 persen ke kisaran US$106.000 hingga US$108.000, dipicu kombinasi profit-taking, distribusi dari miner, serta resistensi teknikal yang kuat.
Konsolidasi Sehat setelah Bitcoin Cetak ATH Baru
Analis Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, menyebut bahwa fase konsolidasi yang saat ini dialami pasar Bitcoin usai mencetak rekor tertinggi sepanjang masa merupakan respons yang wajar dan lazim terjadi setelah lonjakan harga besar.
Sinyal kehati-hatian juga tercermin dari data on-chain. Jumlah dompet whale yang memegang antara 1.000 hingga 10.000 BTC tercatat turun dari 2.021 menjadi 2.003 hanya dalam dua hari terakhir. Penurunan ini menunjukkan adanya aksi realisasi keuntungan, yang memicu peningkatan volatilitas dalam jangka pendek.
“Hal ini memicu gelombang aksi ambil untung oleh para trader, yang menyebabkan tekanan jual jangka pendek. RSI 14-hari saat ini berada di level 65,44—menunjukkan momentum netral dan membuka ruang konsolidasi lebih lanjut,” jelasnya dalam pernyataan tertulis kepada Blockchainmedia.id belum lama ini.
Di tengah tekanan tersebut, permintaan dari institusi besar tetap memberikan bantalan penting bagi pasar. Beberapa institusi ternama dilaporkan masih aktif melakukan akumulasi, yang turut membantu menjaga kestabilan harga Bitcoin.
“Yang menarik adalah bahwa meski tekanan jual meningkat, permintaan institusional tetap kuat, terlihat dari pergerakan besar menuju banyak institusi yang tetap beli Bitcoin, seperti GameStop,” tambah Fyqieh.
Secara teknikal, selama harga BTC mampu bertahan dengan solid di atas level psikologis US$107.000, maka peluang untuk menguji ulang resistance di kisaran US$109.000 masih terbuka lebar dalam waktu dekat.
Sentimen Politik Jadi Katalis Positif
Dukungan terhadap Bitcoin dari Wakil Presiden AS, JD Vance, menambah angin segar. Dalam Bitcoin Conference 2025 di Las Vegas, Vance menyebut BTC sebagai “lindung nilai terhadap inflasi, kontrol pusat, dan diskriminasi politik,” sekaligus mengaku secara pribadi memilikinya.
Pernyataan ini disampaikan di tengah rilis risalah rapat The Fed yang mengungkapkan kekhawatiran terkait inflasi tinggi serta proyeksi pengangguran yang diperkirakan berada di atas 4,6 persen.
Ketidakpastian arah kebijakan suku bunga dan risiko stagflasi pada akhirnya semakin memperkuat narasi tentang Bitcoin yang berfungsi sebagai aset lindung nilai di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian.
Menurut Fyqieh, momen ini sangat penting karena menunjukkan bagaimana Bitcoin semakin diperhitungkan dalam lanskap kebijakan ekonomi dan politik, bukan sekadar sebagai aset spekulatif semata.
“Momen ini menjadi titik penting bagi investor untuk memahami peran Bitcoin dalam lanskap ekonomi baru. Dukungan dari tokoh penting seperti JD Vance memperkuat posisi Bitcoin di panggung kebijakan publik,” ungkap Fyqieh.
Juni Jadi Penentu Arah Selanjutnya
Pasar kripto menantikan pertemuan FOMC 17–18 Juni sebagai pemicu utama pergerakan Bitcoin. Penurunan kapitalisasi dan fluktuasi pendanaan mencerminkan sikap defensif investor, sementara institusi memanfaatkan peluang untuk redistribusi aset.
“Bulan Juni biasanya menjadi titik rawan, di mana tekanan dari ketidakpastian makro dan aksi arbitrase waktu oleh institusi bisa memicu koreksi tajam. Investor perlu memperkuat manajemen risiko dan disiplin dalam pengambilan posisi,” tutup Fyqieh.
Selama support di US$104.670 bertahan, Bitcoin berpeluang menguji resistance di kisaran US$110.700–US$112.000. Tren harga BTC selanjutnya sangat bergantung pada respons pasar terhadap kebijakan moneter dan sentimen ekonomi global dalam beberapa minggu ke depan. [dp]