Proyeksi Resesi AS di Tahun Ini Naik Jadi 60 Persen, Gimana Nasib Kripto?

JPMorgan mengejutkan banyak pihak dengan menaikkan proyeksi resesi di AS pada tahun 2025 menjadi 60 persen. Ini bukan sekadar angka asal tebak, melainkan prediksi yang mengacu pada dinamika terkini dari kebijakan perdagangan yang semakin agresif.

Salah satu pemicunya adalah rencana Presiden AS Donald Trump untuk memberlakukan tarif dasar sebesar 10 persen pada semua impor, serta tarif tambahan yang lebih tinggi terhadap negara-negara seperti Tiongkok dan Uni Eropa.

“Kebijakan AS yang mengganggu telah diakui sebagai risiko terbesar terhadap prospek global sepanjang tahun ini. Berita terbaru memperkuat kekhawatiran kami, karena kebijakan perdagangan AS kini berubah menjadi jauh kurang ramah terhadap dunia usaha daripada yang kami perkirakan,” ujar Kepala Ekonom JPMorgan, Bruce Kasman, dilansir dari New York Post.

Ucapan Bruce mencerminkan kekhawatiran bahwa langkah-langkah seperti ini dapat berujung pada perlambatan ekonomi yang dalam, yang pada akhirnya menekan daya beli dan iklim investasi secara keseluruhan.

Tarif Baru, Pajak Terselubung

Tarif impor ini secara tidak langsung bertindak seperti pajak baru. Bagi konsumen dan bisnis, dampaknya serupa dengan pemotongan penghasilan. Bruce Kasman memperkirakan, beban pajak rata-rata bisa melonjak hingga 24 persen, yang akan menjadi lonjakan terbesar sejak era Perang Dunia II.

Selain itu, Ketua The Fed Jerome Powell turut memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa mendorong inflasi lebih tinggi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Dengan inflasi yang sudah menyengat, tidak heran jika pasar saham langsung merespons dengan penurunan tajam. Indeks-indeks utama seperti S&P 500 dan Nasdaq kompak tergelincir dalam waktu singkat.

Dampaknya ke Pasar Kripto

Di sisi lain, semua ini menempatkan aset berisiko seperti kripto dalam sorotan tajam. Sebuah laporan dari Tangem pada 16 Maret 2025 menyebutkan bahwa resesi yang mungkin terjadi tahun ini akan menjadi ujian besar bagi ketahanan aset kripto.

Nilai aset dan likuiditas sangat mungkin terpengaruh. Dalam laporan tersebut, investor disarankan untuk tidak gegabah. Diversifikasi portofolio dan strategi investasi yang lebih konservatif bisa menjadi cara mengurangi risiko.

Namun demikian, kenyataannya tidak sesederhana itu. Survei yang dilakukan oleh Bankrate pada hari Kamis (3/4/2025) menunjukkan bahwa banyak profesional pasar masih menganggap kripto sebagai aset yang terlalu berisiko bagi mayoritas investor. Volatilitas ekstrem dan ketiadaan nilai intrinsik menjadi alasan utama.

Padahal, sebelumnya sempat ada angin segar ketika Trump kembali terpilih sebagai Presiden. Sayangnya, harapan itu cepat menguap akibat ketidakpastian ekonomi yang justru meningkat pasca pengumuman tarif baru.

“Kripto adalah aset yang rumit bagi portofolio investor ritel karena [ia] tidak menghasilkan pendapatan dan sangat fluktuatif. Nilainya bisa berubah drastis, menjadikannya lebih mirip aset spekulatif. Jika seorang investor ingin memasukkannya ke dalam portofolio, mereka harus membatasi porsinya atau menyadari bahwa aset ini bisa secara signifikan merusak performa kelas aset tradisional lainnya,” ujar Managing Director di SLC Management, Dec Mullarkey.

Pernyataannya menyentuh sisi realitas yang kerap diabaikan. Ketika sebagian orang masih terpukau oleh potensi keuntungan instan dari kripto, banyak yang lupa bahwa aset ini bisa berbalik arah lebih cepat dari yang dibayangkan. Apalagi dalam kondisi ekonomi yang serba tak menentu, risiko seperti ini tidak bisa dianggap sepele.

Resesi Bukan Hanya Tentang Angka

Melihat ke depan, resesi yang diperkirakan oleh JPMorgan bukan hanya sekadar penurunan angka-angka ekonomi. Ini adalah serangkaian dampak nyata yang bisa memengaruhi kehidupan sehari-hari, dari harga barang kebutuhan pokok hingga ketidakpastian pekerjaan.

Dan bagi investor kripto, tantangannya adalah bagaimana tetap waras di tengah gelombang volatilitas yang bisa datang sewaktu-waktu.

Jadi, apakah kripto bisa bertahan dalam badai resesi? Jawabannya belum jelas. Namun satu hal yang pasti, dunia sedang bergerak ke arah yang lebih kompleks. Dalam situasi seperti ini, keputusan investasi sebaiknya tidak diambil berdasarkan hype, melainkan lewat riset, pemahaman risiko yang matang dan strategi yang realistis. [st]

Terkini

Warta Korporat

Terkait