Raksasa keuangan asal Jepang, SBI Groups menawarkan produk terbarunya, yakni XRP Lending untuk aset kripto keluaran Ripple Labs itu.
Aset kripto XRP kian mendapatkan dukungan dari SBI Groups di Jepang, kendati Ripple Labs masih berkasus dengan Komisi Bursa dan Sekuritas (SEC) di Amerika Serikat.
SBI Groups memang memiliki saham di Ripple Labs dan tetap mendukung XRP sebagai aset sekaligus currency sesuai dengan peraturan di Jepang.
Produk XRP Lending akan dijalankan oleh anak perusahaan yang bergerak di bidang aset digital, yakni SBI VC Trade.
“XRP Lending memungkinkan pengguna kami untuk meminjamkan aset kripto XRP mereka kepada kami. Selanjutnya mereka menerima biaya penggunaan sesuai dengan jumlah aset kripto itu,” sebut SBI Group di situsnya, Kamis (4/2/2021).
Tertera di situ biaya lending-nya adalah 0,1 persen per tahun (sudah termasuk pajak) dengan jangka waktu hingga 84 hari. Jumlah minimal XRP adalah 1000 XRP (setara Rp5.432.751 dengan kurs hari ini).
SEC Tuntut Ripple, SBI Group Tak Khawatir, XRP Lanjut di Jepang
Terkait Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) Amerika Serikat yang menuntut Ripple Labs soal pelanggaran penerbitan aset kripto XRP, SBI Group menyatakan pihaknya tak khawatir.
Hal itu disampaikan oleh perusahaan keuangan raksasa asal Jepang itu pada 28 Desember 2020 lalu.
“Ripple Labs adalah mitra bisnis kami yang menyediakan infrastruktur pembayaran generasi baru dengan memanfaatkan teknologi blockchain. Kendati XRP disebutkan oleh SEC adalah sekuritas, namun di bawah undang-undang di Jepang, XRP adalah ‘aset kriptografi’. Tuntutan SEC tidak akan berpengaruh di Jepang dan XRP akan terus diperdagangkan,” sebut SBI Groups.
SBI juga menyebutkan, bahwa pihaknya memang memiliki saham di Ripple Labs. Namun mereka tidak berinvestasi secara langsung di aset kripto XRP, dan terbatas pada saham untuk transaksi pelanggan di SBI VC Trade, sebuah perusahaan bursa aset kripto.
“Hingga saat ini, tidak tidak ada dampak yang merugikan pada hasil usaha perusahaan akibat jatuhnya harga XRP. SBI Group akan selalu mendukung perkembangan Ripple, baik di Jepang dan luar negeri,” sebut SBI.
Jauh sebelum tuntutan SEC itu, Ripple hendak pindah markas dari AS ke Jepang ataupun London, karena menilai peraturan aset kripto di Negeri Paman Sam itu tidak ramah.
Sidang praperadilan perdana SEC versus Ripple Labs akan digelar pada Februari mendatang di New York.
Sementara itu sejumlah bursa aset kripto memutuskan menghentikan perdagangan XRP mulai Januari 2021. Langkah itu semakin menekan harga XRP secara global. Sepanjang sepekan terakhir saja sudah tergerus lebih dari 40 persen.
Kasus XRP: Ini Jawaban Ripple Labs Jelang Praperadilan
Kasus antara Komisi Bursa dan Sekuritas (SEC) AS versus Ripple Labs soal aset kripto XRP masih memanas. Jelang sidang praperadilan pada Februari 2021 nanti, pihak Ripple Labs menulis sejumlah sanggahannya kemarin.
Pada 22 Desember 2020 lalu SEC mengumumkan mengambil langkah hukum terhadap Ripple Labs, perusahaan penerbit XRP, karena melanggar peraturan soal sekuritas. SEC menuding perusahaan itu mengumpulkan lebih dari US$1,3 miliar melalui penawaran “sekuritas aset digital”. Penawaran itu diangap ilegal dan dua orang pendirinya memiliki dan menyimpan sejumlah banyak XRP.
SEC mengacu pada skema Initial Coin Offering (ICO) yang digelar Ripple pada tahun 2013 silam dan disebut berhasil mengumpulkan dana dari publik sebesar US$1,3 miliar.
“Christian Larsen, salah seorang pendiri perusahaan dan Bradley Garlinghouse sebagai CEO saat ini, mengumpulkan modal untuk membiayai bisnis perusahaan. Ripple mengumpulkan dana, mulai tahun 2013, melalui penjualan aset digital yang dikenal sebagai XRP dalam penawaran sekuritas yang tidak terdaftar, kepada investor di Amerika Serikat dan di seluruh dunia,” sebut SEC dalam pengumuman itu.
Sanggahan 93 Halaman
Jumat (29/1/2021), pihak Ripple Labs menulis sejumlah sanggahan terkait gugatan itu. Sebelumnya di sejumlah media massa termasuk di situsnya, Ripple Labs sudah berulang kali menyanggahnya. Hanya saja kali ini lebih lengkap dan terperinci.
Secara umum Ripple Labs memandang bahwa keputusan SEC itu didasarkan pada teori hukum yang belum pernah terjadi sebelumnya dan dipahami dengan sangat buruk.
Menurutnya, teori tersebut mengabaikan, antara lain, bahwa XRP menjalankan sejumlah fungsi yang berbeda dari fungsi “sekuritas”, sebagaimana hukum telah memahami istilah tersebut selama beberapa dekade.
“Misalnya, XRP berfungsi sebagai alat tukar—mata uang virtual yang digunakan saat ini dalam transaksi internasional dan domestik—memindahkan nilai antara yurisdiksi dan memfasilitasi transaksi. Ini bukanlah tergolong sekuritas dan SEC tidak memiliki otoritas untuk mengaturnya sebagai satu kesatuan,” tulis perusahaan itu dalam pengantar tanggapan di catatan sepanjang 93 halaman itu.
Ripple Labs juga mengatakan bahwa pihaknya telah mengajukan permohonan untuk menelaah kembali Undang-undang Kebebasan Informasi dengan. Harapannya adalah untuk mencari informasi di beberapa bidang, termasuk guna menentukan apakah aset kripto Ether (ETH) juga termasuk sekuritas.
Tujuan lainnya adalah untuk mendapatkan argumen apakah pengkategorian ETH dan Bitcoin (BTC) bukan sebagai sekuritas justru memberikan kendali oleh Tiongkok terhadap dua aset kripto itu. [red]