Apakah resesi akan datang? Investor dan analis makin terbelah menjelang 2 April, saat ketidakpastian ekonomi dan pasar global mencapai titik panas. Keputusan The Fed untuk tidak memangkas suku bunga minggu ini justru mempertegas ketidakpastian tersebut.
Dalam diskusi di kanal YouTube Anthony Pompliano, investor makro Jordi Visser menilai langkah tersebut sebagai sinyal bahwa para pembuat kebijakan pun sebenarnya belum benar-benar yakin dengan arah perekonomian.
“Mereka belum tahu kebijakan yang pasti,” ujar Visser dari 22V Research.
Ketidakpastian, Data yang Diragukan dan Kata yang Menyakitkan
Salah satu momen paling menyentil adalah ketika Jerome Powell kembali menggunakan kata yang menghantui banyak investor sejak pandemi, yakni transitory. Kata ini sempat membuat banyak pihak meragukan kredibilitas The Fed, dan kali ini, reaksinya tak jauh berbeda.
Meski Visser setuju dengan makna di balik istilah tersebut, ia mengakui bahwa sentimen publik terhadap kata itu terlalu negatif.
Di sisi lain, muncul pula keraguan terhadap data ekonomi itu sendiri. Scott Bessent, dalam potongan wawancara yang dikutip, bahkan secara spontan menjawab “tidak” saat ditanya apakah ia percaya pada data inflasi dan PDB.
Ini menambah lapisan baru dalam ketegangan, jika data resmi tak dipercaya, maka bagaimana pelaku pasar bisa membuat keputusan rasional?
Investor Global Membeku, Semua Menunggu 2 April
Di tengah ketidakjelasan yang meluas, kondisi pasar terlihat stagnan, di mana para investor cenderung enggan mengambil risiko besar sebelum tanggal 2 April. Situasi ini dipengaruhi bukan hanya oleh isu tarif, tetapi juga oleh ketidakpastian yang lebih luas terkait arah kebijakan makroekonomi.
Bahkan, hedge fund dengan strategi paling defensif pun memangkas eksposur mereka, menunggu kejelasan sebelum kembali masuk pasar.
2 April dipandang sebagai D-Day untuk negosiasi tarif. Jika gagal, bisa saja ketegangan dagang memicu reaksi berantai. Tapi jika berhasil, ini bisa menjadi titik balik.
“Kita sedang beralih dari perang dagang ke negosiasi tarif,” ujar Visser.
Apakah Ini Jalan Menuju Resesi?
Pertanyaan utamanya tetap menggantung, apakah semua ini adalah awal dari resesi? Visser tidak melihat tanda-tanda teknikal yang mendukung itu, setidaknya belum.
Ia menyebut bahwa selama masyarakat masih punya pekerjaan dan tetap belanja, ekonomi belum akan ambruk. Bahkan data mingguan seperti klaim pengangguran dan penerimaan pajak masih menunjukkan kestabilan.
Namun demikian, rasa khawatir tetap menguat. Pasar saham AS memang turun, tetapi bukan secara merata. Saham-saham Mag 7 anjlok, sementara 493 perusahaan lainnya justru mencatat kenaikan tipis. Ini menunjukkan bahwa pasar tidak sedang runtuh, melainkan mengalami rotasi.
AI, Tesla dan Ledakan Teknologi: Pengalih Atau Penyelamat?
Di luar urusan resesi, diskusi juga menyentuh sektor teknologi yang terus bergerak cepat. Tesla menjadi contoh menarik, di mana bukan lagi sekadar produsen mobil, melainkan pemain utama dalam AI dan robotika.
Elon Musk bahkan mengklaim bahwa Tesla akan memproduksi 5.000 robot Optimus tahun ini. Jika itu benar, saham Tesla bisa jadi sinyal perubahan arah pasar yang patut diperhatikan.
Sementara itu, Nvidia dan perusahaan hardware lainnya mulai unjuk gigi. Menurut Visser, kita berada di awal revolusi perangkat keras berbasis AI.
“Ini saat yang tepat memantau kebangkitan perusahaan yang dulu dianggap mati,” ujarnya.
Dari IBM, Cisco, hingga Freeport-McMoRan, banyak saham yang mulai bergerak naik tanpa disadari publik.
Meski belum ada bukti nyata bahwa resesi akan datang, sinyal ketidakpastian sudah terlalu sulit diabaikan. Pemerintah AS ingin melakukan transisi fiskal besar tanpa menimbulkan kerusakan. Visi mereka, menurut Visser, bukanlah menekan ekonomi, melainkan mengalihkan beban dari sektor publik ke swasta secara perlahan.
“Kita tidak bisa menghadapi resesi kalau sedang berada di perlombaan AI,” tegas Visser.
Jadi, apakah resesi akan datang? Jawabannya mungkin bukan ya atau tidak, tetapi seberapa siap kita menghadapinya, jika itu benar-benar datang. [st]