Dalam sebuah penelitian yang disponsori oleh VISA, terungkap bahwa penggunaan stablecoin di Indonesia semakin beragam. Use case-nya tak hanya untuk crypto trading di beragam crypto exchange, tetapi kian berubah menjadi alternatif layanan perbankan yang jauh lebih efisien.
Penggunaan stablecoin di Indonesia semakin meluas, tidak hanya untuk kebutuhan perdagangan aset kripto, tetapi juga sebagai alternatif perbankan tradisional. Banyak pengguna mulai mengandalkan stablecoin sebagai sarana untuk mengonversi stablecoin bernilai dolar AS (seperti USDT) dan euro, melakukan pembayaran antar negara, hingga menyimpan tabungan dalam bentuk dolar digital itu.
Faktanya, stablecoin kini sangat kuat dan terus meningkat. Pasokan stablecoin secara keseluruhan diperkirakan mencapai sekitar US$170 miliar, dengan nilai transaksi yang diselesaikan mencapai triliunan dolar setiap tahunnya.
Setiap bulan, ada sekitar 20 juta address di beragam blockchain melakukan transaksi stablecoin, dan lebih dari 120 juta address memiliki saldo stablecoin. Angka-angka ini menunjukkan bahwa stablecoin telah menjadi infrastruktur keuangan paralel yang menarik, yang hanya berawal dari hampir nol pada lima tahun yang lalu.
Penelitian yang dilakukan oleh Castle Island Ventures, Brevan Howard Digital, dan Visa Crypto, bekerja sama dengan YouGov itu mengungkapkan bahwa banyak pengguna di pasar negara berkembang seperti Indonesia mulai mengandalkan stablecoin untuk tujuan-tujuan yang lebih luas. Studi ini dilakukan melalui survei terhadap 2.541 pengguna kripto di lima negara besar, termasuk Indonesia, dengan tujuan memahami bagaimana stablecoin digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut laporan itu, penggunaan stablecoin di Indonesia telah berkembang melampaui fungsi utamanya sebagai alat perdagangan di crypto exchange.
“Kami menemukan bahwa pengguna di Indonesia tidak hanya menggunakan stablecoin untuk perdagangan kripto, tetapi juga sebagai alat konversi mata uang digital, melakukan pembayaran lintas negara, serta sebagai instrumen tabungan dalam dolar digital,” jelas dalam riset itu.
Studi ini juga mengungkapkan bahwa salah satu alasan utama penggunaan stablecoin di Indonesia adalah untuk mengakses dolar digital dengan mudah. Pengguna lebih memilih stablecoin daripada menggunakan sistem perbankan, karena alasan efisiensi, potensi imbal hasil yang lebih tinggi, dan rendahnya kemungkinan campur tangan dari pemerintah.
Selain itu, survei mencatat bahwa 57 persen dari 2.541 pengguna kripto di lima negara besar, termasuk Indonesia, melaporkan peningkatan penggunaan stablecoin selama setahun terakhir, dan 72 persen dari mereka memperkirakan akan semakin sering menggunakan stablecoin di masa mendatang.
“Pengguna di Indonesia lebih suka stablecoin, karena dapat melakukan konversi mata uang dengan cepat dan fleksibel, terutama di luar jam operasional bank lokal,” jelas laporan tersebut.
Crypto exchange Pintu, yang merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia, juga mencatat tren ini. Pintu menawarkan berbagai stablecoin yang bernilai dolar AS dan euro. Pengguna Pintu dapat memanfaatkan stablecoin untuk berbagai keperluan, mulai dari perdagangan hingga penghematan biaya transaksi lintas negara.
“Banyak pengguna kami menggunakan stablecoin untuk menghindari batasan transaksi bank tradisional, seperti batas minimum dan maksimum transfer mata uang asing,” ujar Pintu dikutip dari laporan tersebut.
Blockchain Ethereum Nomor Satu
Untuk urusan blockchain yang digunakan, blockchain Ethereum menjadi jaringan yang paling banyak digunakan oleh pengguna Pintu untuk mentransfer stablecoin bernilai dolar AS, dengan persentase sekitar 50 persen dari total transaksi. Jaringan lain yang juga popular adalah Binance Smart Chain (BS) dan Tron. Selain itu, USDT menjadi pilihan favorit pengguna dibandingkan USDC besutan Cirle, menyumbang lebih dari 90 persen dari total transfer.
Tidak hanya di Indonesia, penelitian ini juga mencakup negara-negara lain seperti Brasil, India, Nigeria, dan Turki. Namun, pola penggunaan stablecoin bervariasi di tiap negara. Di Indonesia, konversi mata uang menjadi tujuan utama, sementara di negara lain seperti Nigeria, fokusnya lebih pada penyimpanan uang dalam dolar untuk menghindari devaluasi mata uang lokal.
Selain itu, laporan tersebut juga menyoroti bagaimana stablecoin telah menjadi instrumen penting dalam portofolio banyak pengguna di Indonesia.
“Di pasar negara berkembang seperti Indonesia, stablecoin semakin mendominasi portofolio pengguna, terutama bagi mereka yang ingin mengamankan nilai mata uang mereka dalam bentuk dolar digital,” tambah laporan tersebut.
Studi ini juga memberikan pandangan menarik tentang peran stablecoin di masa depan. Pengguna di Indonesia semakin melihat stablecoin sebagai alternatif yang lebih praktis dan fleksibel dibandingkan layanan perbankan tradisional, khususnya dalam hal efisiensi transaksi dan akses ke dolar digital tanpa batasan ketat dari bank.
Stablecoin memang menawarkan berbagai keuntungan untuk pembayaran lintas negara, menghilangkan perantara dan memungkinkan transaksi yang lebih transparan, efisien, dan murah.
“Stablecoin memberikan keunggulan dibandingkan sistem pembayaran lintas batas tradisional, yang dapat memakan waktu beberapa hari, mahal, kurang transparan, dan terbatas dalam aksesibilitasnya,” tersebut di penelitian tersebut.
Dijelaskan bahwa salah satu alasan inefisiensi sistem tradisional adalah keterlibatan banyak perantara dan mata uang dalam proses, yang menambah biaya dan waktu.
Di sisi lain, stablecoin memungkinkan pembayaran antara negara bisa diselesaikan kapan saja, hanya dalam beberapa menit, dan dengan biaya yang lebih murah (misalnya hanya 1 dolar untuk setiap transaksi untuk semua besaran) daripada menggunakan layanan perbankan biasa.
Dengan adanya perkembangan ini, stablecoin tampaknya akan terus memainkan peran penting dalam sistem keuangan Indonesia, terutama di kalangan pengguna yang mencari cara lebih cepat dan efisien untuk mengelola keuangan mereka di dunia digital. [ps]