Di tengah kekacauan pasar global dan ketidakpastian ekonomi yang semakin menjadi-jadi, satu aset justru tetap berdiri tegak, itu adalah Bitcoin.
Sementara indeks saham utama di AS mengalami penurunan tajam akibat kekhawatiran terhadap tarif dagang dan potensi resesi, kripto utama tersebut tampak justru lebih tahan banting. Banyak pelaku pasar kini bertanya-tanya, mengapa aset digital ini justru tampil stabil ketika segala hal lainnya sedang anjlok?
Jordi Visser, seorang investor makro dengan lebih dari 30 tahun pengalaman di Wall Street dan Pendiri Visser Labs, membagikan pandangannya dalam sebuah wawancara di kanal YouTube milik Anthony Pompliano.
Menurut Visser, minggu ini bisa menjadi momen yang akan dikenang sebagai titik balik penting bagi Bitcoin, khususnya jika ia mampu bertahan di kisaran US$80.000 hingga US$84.000 di tengah kondisi pasar yang begitu tidak menentu.
Sinyal Awal dari Perubahan Besar?
Di sisi lain, penurunan pasar saham tidak terjadi tanpa alasan. Langkah pemerintah AS yang memberlakukan tarif baru, yang disebut sebagai “Deklarasi Kemerdekaan Ekonomi,” memicu gejolak global.
Negara-negara seperti Tiongkok bereaksi keras, dan banyak perusahaan AS kini menghadapi tekanan margin akibat kenaikan biaya impor. Saham-saham teknologi dan ritel terkena dampak paling parah, termasuk Apple yang 90 persen iPhone-nya masih diproduksi di Tiongkok.
Namun demikian, Visser menilai bahwa pasar kini telah mengantisipasi potensi resesi dengan cukup realistis.
“Ketika indeks S&P 500 tidak berubah secara year-over-year, itu artinya kita sudah mengasumsikan peluang resesi sebesar 50 persen,” ujar Visser.
Ketahanan Bitcoin di Tengah Ketidakpastian
Yang menarik, justru dalam kondisi seperti ini, BTC mulai menunjukkan karakter uniknya. Banyak investor institusi di Wall Street selama ini memandang Bitcoin hanya sebagai “NASDAQ yang diberi leverage.”
Tetapi kini, Bitcoin justru mengungguli saham-saham teknologi unggulan yang selama ini dikenal sebagai Mag 7. Bahkan, Visser menyebut Bitcoin sebagai mercusuar dalam badai.
Salah satu alasannya? Bitcoin tidak bisa dikenai tarif. Ini menempatkannya di luar sistem perdagangan global yang sedang dikoyak kebijakan proteksionis.
Selain itu, dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terdesentralisasi, banyak pihak mulai melihat BTC sebagai alat tukar lintas negara yang efisien dan sulit dilacak otoritas.
Apa yang Terjadi dengan Pasar Tenaga Kerja?
Menariknya, meski banyak sinyal menuju resesi, tingkat pengangguran masih rendah. Menurut data terbaru, klaim tunjangan pengangguran tetap di level yang sama sejak awal 2022.
Bahkan, sektor kesehatan masih menciptakan puluhan ribu lapangan kerja baru. Ini membuat banyak analis ragu apakah ekonomi AS benar-benar akan masuk ke resesi teknis.
“Selama pendapatan masyarakat masih tumbuh dan tidak ada lonjakan pengangguran besar-besaran, sangat sulit untuk menyebut situasi ini sebagai resesi,” tambah Visser.
Taktik Negosiasi atau Perang Dagang Jangka Panjang?
Visser percaya bahwa kebijakan tarif saat ini adalah bentuk strategi negosiasi tingkat tinggi, bukan sekadar proteksionisme murni. Beberapa negara seperti Vietnam dan Kanada bahkan sudah memberi sinyal untuk mencabut tarif mereka.
Namun, menurut Visser, negosiasi tersulit tetap antara AS dan Tiongkok, yang dianggap sebagai poros utama dalam sistem ekonomi global.
“Kalau pasar melihat tidak ada ruang untuk negosiasi, baru saat itulah kita melihat nilai sesungguhnya dari aset-aset seperti Bitcoin,” jelasnya.
Bisakah Konsumen Bertahan?
Sejumlah perusahaan besar seperti Walmart dan Ford telah menyatakan tidak akan meneruskan biaya tarif kepada konsumen. Tetapi itu hanya mungkin dilakukan oleh perusahaan raksasa dengan daya tawar tinggi.
Pelaku usaha kecil tidak seberuntung itu. Mereka kemungkinan besar akan terkena dampaknya secara langsung, baik dalam bentuk penurunan margin maupun potensi kebangkrutan.
“Ekonomi ini masih sangat bergantung pada usaha kecil. Jadi, jangan terlalu percaya bahwa harga barang akan tetap rendah dalam jangka panjang,” ungkap Visser.
Jika tekanan terhadap pasar terus berlanjut, ada kemungkinan The Fed akan terpaksa memangkas suku bunga lebih cepat dari yang direncanakan. Bahkan, Visser memperkirakan pemotongan suku bunga bisa terjadi mulai Juni jika data GDP kuartal pertama dan kedua menunjukkan pertumbuhan negatif.
Namun, sebelum itu terjadi, pasar saham dan Bitcoin kemungkinan sudah lebih dulu menemukan titik terendah dan memantul naik.
“Bitcoin bisa mencapai rekor tertinggi baru sebelum musim panas berakhir,” pungkas Visser. [st]