Lebih dari seratus tokoh paling kaya dan berpengaruh di Asia berkumpul di Singapura untuk belajar lebih dalam soal blockchain, Forbes melansir, Selasa (04/11). Acara itu tampak bagaikan adegan drama komedia Crazy Rich Asians (2018) yang menggambarkan keluarga Asia super kaya dengan latar belakang Singapura.
Para pebisnis dan investor tersebut berkumpul untuk mendengarkan pemikiran dari pemimpin industri kripto di Asia dan dunia, dalam sebuah acara bertajuk “Mendekripsi Blockchain untuk Bisnis”, yang digelar Forbes Asia dan hanya bisa dihadiri oleh orang yang diundang.
Di tengah situasi pasar kripto yang sedang terpuruk saat ini, di mana total kapitalisasi pasar turun hingga 47 persen dalam tiga bulan terakhir, suasana di acara tersebut jauh berbeda dengan atmosfir ketika pasar kripto sedang mengalami salah satu bull run terhebat sepanjang sejarah pada tahun 2017.
Hadirin yang terdiri dari “sesepuh” yang bijak serta para cucunya yang inovatif bersikap tenang dan teliti ketika menulis catatan dan melakukan analisa tentang informasi yang diberikan.
Salah satu peserta acara tersebut, Anderson Tanoto, adalah direktur Royal Golden Eagle (RGE), sebuah konglomerasi manufaktur dengan valuasi US$18 miliar. Tanoto berkata ketertarikannya di blockchain adalah soal penerapan teknologinya.
“Ada dua kelompok orang di blockchain, yaitu kelompok yang ingin kaya lewat kripto, dan kelompok yang ingin mengubah dunia melalui blockchain. Saya ingin menjadi bagian kelompok kedua itu,” ucap Tanoto.
“There are two herds of people in blockchain. Those who want to get rich off crypto, and those who want to change the world with blockchain,” says Anderson Tanoto, director of Royal Golden Eagle (RGE) https://t.co/KONL2KpFYE @ForbesCrypto #forbesblockchain pic.twitter.com/LX0f1acAFS
— Forbes Asia (@ForbesAsia) December 5, 2018
Tanoto adalah putra Sukanto Tanoto, yang mendirikan RGE setengah abad yang lalu. Sebagai generasi muda keluarga Tanoto, ia memelajari blockchain dan meluncurkan Aliansi Inovasi dan Jaminan Keberlanjutan (SUSTAIN) untuk memindahkan rantai pasok minyak sawit RGE ke blockchain.
Selain rantai pasok, penerapan blockchain non-kripto yang ditampilkan di acara tersebut disampaikan oleh Janil Puthucheary, Menteri Senior di Kementerian Komunikasi dan Informasi serta Kementerian Transportasi Singapura.
Tugas Puthucheary adalah mengawasi riset teknologi pemerintah Singapura. Ia merupakan sosok dibalik inisiatif Smart Nation Singapura untuk menerapkan blockchain dan teknologi lain ke dalam infrastruktur negara tersebut.
Dalam presentasinya, Puthucheary memberikan daftar sejumlah proyek pemerintah yang menjajaki penggunaan blockchain bagi rantai pasok, dan otomatisasi pembayaran asuransi kesehatan bila ada pasien yang didiagnosa dengan diabetes sebagai contohnya.
Puthucheary menyorot hasil kerja Otoritas Keuangan Singapura (MAS) yang memelajari cara blockchain bisa berinteroperasi dengan infrastruktur keuangan bank sentral Singapura. Selain penjelasan tersebut, ia mengingatkan para peserta agar waspada terhadap keterbatasan blockchain.
“Tidak ada teknologi yang benar-benar aman, tetapi blockchain memang memiliki beberapa sifat yang bisa memberikan kepastian keamanan lebih tinggi dengan sumber daya yang minimal,” jelas Puthucheary.
Kendati agenda acara tersebut banyak membahas penerapan non-kripto, tetap ada porsi besar yang didedikasikan untuk membahas uang kripto terlepas dari kondisi pasar yang sedang ambruk.
Berkomentar tentang kondisi pasar kripto yang sedang bergulat saat ini, co-founder dan ketua Bloq Matthew Roszak, berkata, “Hype mulai berubah menjadi sikap pragmatis, dan kami melihat momentum disana. Sekarang adalah saat yang baik untuk berpikir tentang strategi dan pendekatan Anda di sektor kripto.” [ed]