Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchainmedia.id
“Halo, apa benar ini dengan Bapak Vinsensius Sitepu? Saya perlu bantuan untuk membeli Bitcoin, pak. Apakah bisa COD, pak?” seseorang mengirimkan pesan melalui WhatsApp pada pekan lalu.
Cukup lama saya membalas pesan itu. COD, apa maksudnya? Cash on Delivery? Lima tahun lamanya saya kenal dan pakai Bitcoin, baru kali ini saya dengar istilah COD terkait Bitcoin. Memang tak salah, tapi tak lazim.
“Begini saja, pak. Soal beli dan kirim Bitcoin, kita diskusi di warung kopi saja,” jawab saya penasaran soal sosok manusia yang beli Bitcoin sistem COD ini.
Singkat cerita, tak sampai 30 menit setelah percakapan itu, “pembeli Bitcoin sistem COD” itu tiba di warung kopi. Perawakannya masih muda. Ternyata 3 tahun lebih tua daripada saya.
“Begini, bang,” katanya mulai serius, mengganti panggilan dari pak menjadi bang kepada saya, “Klien saya di Kanada meminta metode pembayarannya menggunakan Bitcoin. Dia enggan pakai Western Union sebagaimana yang biasa saya pakai selama ini,” ujarnya.
“Oh, abang sudah punya akun di salah satu bursa kripto di Indonesia? Tanya saya.
“Ada, bang. Tapi kok sudah sebulan saya tidak bisa transaksi,” jawabnya dengan raut muka bingung.
Pertemuan itu pun berubah dari kursus singkat Bitcoin selama 3 jam, mulai dari bitcoin mining sampai cara mengirim dan menerima Bitcoin. Tentu saja dengan penyampaian yang saya pikir amat sederhana.
Setelah 3 jam berlalu si abang pun masih bingung dan memutuskan menunda membeli dan mengirimkan Bitcoin dengan alasan sang klien belum bisa dihubungi dan tak ada respons sama sekali.
Dua hari berlalu, tiba-tiba si abang mentransfer sejumlah rupiah kepada saya untuk dibelikan sejumlah Bitcoin untuk dikirimkan kepada kliennya.
“Bang, tolong belikan Bitcoin senilai Rp400 ribu. Nanti abang kirimkan ke alamat Bitcoin ini,” katanya melalui WhatsApp.
Singkat kata terkirimlah Bitcoin itu di tempat tujuannya. Dan kami berbincang lagi di tempat yang sama.
“Saya sudah lima tahun bisnis jual beli kontainer bekas, bang. Kontainer bekas saya beli di luar negeri, saya perbaiki, lalu saya jual di Medan. Saya biasanya pakai Western Union untuk pembayaran. Kalau mengirimkan setara Rp50 juta biasanya biaya transfernya Rp750 ribu.
“Ya, enggak heran, bang. Lima tahun lalu orangtua saya mengirimkan Rp6 juta dari Medan ke Pulau Pinang, Malaysia, biaya kirimnya Rp200 ribu. Iya, pakai Western Union juga,” kata saya.
Di pertemuan itulah si abang pun heran mengapa mengirimkan uang ke luar negeri lebih murah menggunakan Bitcoin daripada menggunakan Western Union.
Tapi, tentu layak dan sepantasnya saya memberitahu bahwa bisa juga menggunakan USDT, yang harganya dipatok harga dolar AS untuk mengirimkan uang ke negara mana saja, kecuali ke akhirat.
“Biaya kirimnya hanya 5 USDT kalau pakai jasa bursa kripto,” kata saya.
“Wah, kok bisa gitu, bang? Tanyanya.
“Yah, namanya juga cara bayar kekinian, bang. Sudah puluhan tahun kita membayar mahal untuk transfer uang lintas negara. Sudahlah mahal, lama pula,” jawab saya sekenanya menghindari penjelasan teknis, terlebih-lebih soal kontroversi Tether, perusahaan asal Hong Kong, penerbit USDT itu.
“Berapa lama sampai kalau pakai USDT, bang? tanyanya.
“Yah, nggak cepat juga sih, paling lama sekitar 60 menit,” jawab saya sambil terkekeh. “Ya, paling tidak lebih cepat daripada kirim dolar lewat bank dan lebih murah biaya kirimnya daripada pakai Western Union,” imbuhku.
Dan, pertemuan kedua itu pun berakhir pada rencana berikutnya, yakni membuat pelatihan mengirimkan uang menggunakan teknologi blockhain kepada para pengusaha di Kota Medan.
Saya menjabat tangan “si abang yang minta COD Bitcoin” itu seraya berucap, “Selamat tinggal, Western Union!” []