Harap maklum strategi Tiongkok memang begini, yakni standar ganda dalam memutuskan sesuatu, termasuk soal Bitcoin dan blockchain. Amerika Serikat juga menerapkan strategi itu, khususnya soal kebijakan luar negeri dan mungkin dalam menjawab persaingan teknologi blockchain dengan Tiongkok. Indonesia mungkin hanya sanggup menonton, karena lebih nikmat.
OLEH: Vinsensius Sitepu
Pemimpin Redaksi Blockchain Media Indonesia
Pekan lalu Presiden Tiongkok bilang bahwa teknologi blockchain adalah andalan baru ekonomi negeri dan memerintahkan semua industri dalam negeri untuk menganut teknologi di balik aset kripto alias uang elektronik alias cryptocurrency alias mata uang Bitcoin itu.
Padahal Satoshi Nakamoto, sang pencipta Bitcoin, tidak pernah bilang sistem uang elektronik peer-to-peer itu adalah berteknologi “blockchain”. Tapi, penerima Bitcoin pertama dari Satoshi, yakni si jenius Hall Finney pernah menyebutkan “block chain” menyacu pada whitepaper Bitcoin itu. Ada anomali konsensus di situ, berkelindan di antara siasat politik dan spekulator perdagangan. Satoshi menuliskan “block” dan “chain” secara terpisah di whitepaper-nya.
Suatu waktu, pada tahun 2016 Pemerintah Tiongkok pernah menyebutkan bahwa Bitcoin adalah “haram”, tetapi warga Tiongkok tetap diperbolehkan melakukan penambangan Bitcoin di dalam negeri dengan listrik yang maha murah.
Kemudian, sejumlah bursa kripto pun “diusir” pada tahun 2017, tidak boleh ada perdagangan aset kripto dan juga tidak boleh ada Initial Coin Offering (ICO) di dalam negeri. Tetapi, sejumlah perusahaan terkait “blockchain” di negeri itu, bisa melakukan ICO di luar negeri dan “memakan korban” juga di Indonesia. Sedap ini!
Kok saya merasa cara itu lebih mirip strategi diaspora Tiongkok, daripada melarang sungguhan, toh akses VPN untuk mengakses web bursa kripto itu masih bisa dan warga Tiongkok menggunakan identitas lain agar lolos KYC. Ada banyak celah sebenarnya.
Terakhir, gara-gara pidato presiden itu pula mendorong harga Bitcoin naik hingga 40 persen, termasuk terbitnya Tether (USDT) yang lebih banyak lagi untuk membeli raja kripto itu. Pump pun terjadi kata sejumlah spekulator. Sebagian besar Altcoin dan “Alt-Token” pun kebagian hijaunya kenaikan Bitcoin. Pasar pun gegap gempita mendulang cuan. Entah sampai kapan.
Pasar modal pun dibikin bergairah gara-gara pidato itu. Sebagian besar saham perusahaan yang dianggap bersangkut paut dengan teknologi blockchain, ataupun hanya berjulukan teknologi, pun dibeli naik harganya. Dibeli cepat. Dahsyat memang eyang Xi Jinping ini.
Di tengah-tengan standar ganda itu pula, Pemerintah Tiongkok sejak tahun 2014 terus meneliti dan mengembangkan teknologi blockchain untuk berbagai bidang. Terakhir disebutkan bahwa Bank Sentral Tiongkok telah menerbitkan versi digital uang yuan menggunakan teknologi blockchain, dan akan diujicoba dengan WeChat Pay dan AliPay, termasuk beberapa bank Tiongkok.
Tahun lalu bahkan terkuak bahwa sejumlah patent teknologi blockchain terbanyak datang dari Tiongkok. Sebagian besar, sekitar 40 dikebut oleh Alibaba Group, di mana sang pendiri, Jack Ma adalah anggota partai tunggal komunis di Tiongkok.
Tiongkok pun tak lupa membuat daftar peringkat teknologi blockchain terbaik secara rutin. Dengan cara ini Tiongkok tampak hendak membuat acuan, selayaknya standar ukuran bagi dunia. Teknologi blockchain EOS pun selalu berada di urutan pertama menurut versi Tiongkok, bukan Bitcoin. Ini tentu saja masuk akal, kendati EOS sendiri pun tak aman-aman amat, sih.
Di sini kita menyadari bahwa gerak cepat Tiongkok adalah keinginan mendominasi teknologi ini untuk dunia. Jikalau sudah punya teknologi yang efisien ini, sederhananya Tiongkok cukup “menyewakannya” kepada pihak lain, mirip seperti teknologi pembayaran Visa dan Mastercard selama ini.
Kita sah-sah saja membayangkan, teknologi blockchain Bank Sentral Tiongkok akan disewa oleh Bank Sentral negara lain, termasuk Indonesia. Indonesia tak perlu berpelu-peluh membuat sendiri, cukup pakai yang sudah ada, yang penting proses transaksi lintas negara lebih cepat dan lebih murah. Tak perlu lagi mengirimkan yang hingga 3 hari lamanya. Mungkin dan mungkin kita akan menikmati rupuah versi digital berbasis teknologi blockchain Tiongkok.
Toh, dengan versi digital yuan, Tiongkok punya cara baru dan cepat untuk mendominasi perdagangan. Yuan kelak dapat dengan mudah membanjiri dunia, bersaing dengan dolar AS, di mana Bank Sentral-nya belum memberikan membuat teknologi yang serupa.
Toh, dengan yuan digital pula, Tiongkok dapat dengan mudah melacak semua transaksi yang, karena tidak melibatkan uang kertas dan logam. Pun lagi biaya cetak uang kertas menjadi nol dan fokus pada penggunaan yuan digital ini, misalnya “dijadikan utang” oleh negara-negara yang membutuhkan tambahan cadangan devisa bisa menggantikan dolar AS ataupun yen.
Amerika Serikat yang tampak adem ayem, mustahil tak bertindak. Ibarat perlombaan teknologi antariksa di era Kennedy, dan mengingat teknologi blockchain mengahasilkan efisiensi, Amerika Serikat bakal memberikan kejutan menyaingi capaian Tiongkok itu.
Tak heranlah pelarangan stablecoin Libra, sangat mudah dianggap kemunduran inovasi keuangan. Tentu, Bank Sentral malu, kalau membuat dolar digital mesti dibantu oleh Facebook secara terang-terangan. Pun di sisi lain ada restu dan izin resmi stablecoin lain bernilai dolar, yakni Paxos misalnya. Tether pun dihantam habis-habis, hanya karena volumenya sangat tinggi dan dipakai meluas di dunia, serta cadangan dolar sungguhannya dianggap gelap.
Indonesia? Yah, seperti biasa menonton saja, kursi masih banyak. Siasat Indonesia mungkin cukuplah dengan cara melihat saja yang mau memberikan teknologi keuangan yang lebih murah, termasuk yang terkait dengan proyek-proyek padat karya di masa depan. Blockchain Indonesia memang loyo. Atau mungkin sudah ada, tetapi tak diumumkan terang-terangan? Entahlah. [*]