Perdagangan aset kripto di Indonesia telah memasuki babak baru setelah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menerbitkan Peraturan No 5 tahun 2019 pada 8 Februari lalu.
Berdasarkan aturan tersebut, yang disebut sebagai pelaku industri kripto tak lagi hanya perusahaan exchange alias bursa kripto yang disebut sebagai Pedagang Fisik Aset Kripto. Tetapi, juga melibatkan Bursa Berjangka, Lembaga Kliring dan Pengelola Tempat Penyimpanan Aset.
Aturan ini secara umum disambut positif oleh pelaku usaha, karena memberikan kepastian hukum atas perdagangan kripto di Indonesia. Artinya, kripto di Tanah Air “semakin legal”. Aturan ini juga memberikan perlindungan kepada konsumen (customer protection) dari berbagai risiko fraud yang terjadi dalam perdagangan kripto.
Tetapi, aturan ini belum happy ending. Sebab, ada hal yang terlalu memberatkan pelaku industri dari sisi persyaratan modal. Untuk mendapat persetujuan sebagai pedagang fisik aset kripto dan pengelola tempat penyimpanan aset, modal yang disetor masing-masing minimal Rp1 triliun dan saldo modal akhir sebesar Rp800 miliar. Sedangkan untuk mendapatkan izin sebagai Bursa Berjangka dan Kliring, modal yang disetor masing-masing sebesar Rp1,5 triliun dan saldo modal akhir sebesar Rp1,2 triliun.
Menurut Direktur Commodity Futures Research and Institute (Coftri), Iwan Cahyo Suryadi, persyaratan modal tersebut tidak masuk akal.
“Kalau menurut saya itu nggak masuk akal, karena industri ini belum mature di Indonesia. Jadi perlu insentif, perlu dorongan untuk lebih baik,” ujar Iwan kepada Blockchainmedia.id.
Menurut Iwan, syarat modal yang gede memang baik dari sisi customer protection. Dengan begitu, rekam jejak kemampuan keuangan perusahaan bisa dipercaya. Tetapi, menurut dia, angka triliunan itu juga tidak sebanding dengan syarat permodalan perusahaan berjangka komdotitas dan pialang yang selama ini sudah beroperasi di industri Bursa Berjangka Komoditi.
Untuk level Bursa Berjangka dan Kliring Berjangka saja, menurutnya, selama ini syarat modalnya Rp100 miliar. Itu pun, menurut Iwan, tidak harus dalam bentuk cash semua, tetapi bisa juga dalam bentuk aktiva seperti tanah, gedung dan lainnya. Sedangkan untuk perusahaan pialang berjangka menurutnya, syarat modalnya lebih kecil lagi, yaitu Rp1,5 miliar sampai Rp5 miliar dan modal bersih disesuaikan sebesar Rp7 miliar.
Iwan khawatir, jika Bappebti tetap mempertahankan syarat modal yang besar untuk pelaku perdagangan kripto, industri ini nanti akan dimonopoli oleh sekelompok orang.
“Mereka yang mempunya modal besar, dialah yang akan menguasai pasar ini,” ujarnya.
Selain itu, syarat modal yang besar, menurutnya, juga akan mendorong munculnya perusahaan-perusahaan liar alias tanpa izin. Menurut Iwan, hal terpenting saat ini adalah bagaimana para pelaku industri ini masuk dulu ke dalam proses bisnis yang dirancang Bappebti.
“Jadi kalau memang industri kripto mau maju, berilah insentif dengan kemudahan-kemudahan,” ujarnya. [jul]