Staking dan earn aset kripto tampak mulai popular di Indonesia lewat sejumlah bursa kripto (crypto exchange). Mengingat produk ini tergolong baru, tidak sedikit yang masih bingung soal perbedaannya, termasuk keunggulan dan risikonya.
Apa Itu Staking Kripto?
Konsep dasar staking kripto kali pertama diterapkan pada tahun 2012 lewat proyek Peercoin. Mereka memperkenalkan algoritma konsensus Proof-of-Stake (PoS), sebagai antitesis ataupun alternatif terhadap Proof-of-Work (PoW) yang diusung oleh Bitcoin, menyusul Ethereum pada 30 Juli 2015.
Jika PoW mengandalkan perangkat elektronik berspesifikasi tinggi dan haus daya listrik untuk melakukan validasi transaksi, maka PoS hanya perlu komputer server (biayanya lebih murah daripada alat tambang Bitcoin jenis ASIC misalnya) dan mewajibkan sang validator menyimpan (stake) sejumlah kripto tertentu. Kripto inilah adalah bukti (proof), bahwa validator bersedia ikut serta dalam mengamankan jaringan.
Dalam sistem PoS, semakin banyak kripto yang di-stake, maka semakin besar ia mendapatkan imbalan kripto, atas jasanya mengamankan jaringan blockchain itu. Sedangkan di PoW, semakin tinggi spesifikasi alatnya, maka semakin besar peluangnya mendapatkan imbalan untuk setiap block yang divalidasinya. di PoW, tidak perlu menyimpan kripto sebagai bukti kinerjanya.
Sedangkan imbalan kripto yang diperoleh miner dan validator ini berasal dari kripto baru yang diterbitkan setiap kali block transaksi tercipta.
Sistem PoS pun tidak pudar dewasa ini, walaupun Peercoin akhirnya kalah popular dari proyek lain yang masih mengandalkan ataupun mengembangkan PoS ini.
Dari PoS pula muncul varian lain, seperti Delegated Proof-of-Stake (DPoS) oleh Tron, Cardano dan Binance Smart Chain.
Ethereum 2.0 yang diperkirakan rampung pada tahun depan juga mengandalkan PoS yang kurang lebih mirip PoS klasik.
Jadi, sampai di sini Anda bisa menafsirkan sendiri keunggulan dan kekurangan antara PoW dan PoS.
Jika PoW dikritik tidak ramah lingkungan karena menyedot daya listrik yang besar, sedangkan PoS terkadang dihujam kecaman karena hanya pihak-pihak berkantong tebal yang berhak mendapatkan imbalan besar.
Padahal, kalau ditilik lebih serius, PoW dengan ASIC ataupun GPU juga tak kalah tak adilnya, karena hanya pihak bermodal besar yang sanggup membeli dalam jumlah banyak dan berpeluang memenangi pertempuran pertambangan. Kedua-duanya punya aspek konsentrasi kepemilikan sumber daya.
Namun kritik terhadap PoS itu diimbangi dengan komponen layanan Staking Pool. Komponen ini ada kaitannya dengan Solo Staking (validator) itu. Ingat bahwa validator tunggal perlu modal untuk sewa komputer server (biasanya berjenis VPS ataupun dedicated server), termasuk memastikan bandwidth Internet dari dan ke server itu harus stabil.
Pasalnya, jika komputer server validator itu offline atau tidak aktif dalam beberapa waktu ataupun berusaha mencurangi sistem, maka berlaku mekanisme slashing alias “penghilangan paksa” atas kripto yang di-staking-nya.
Bayangkan saja Solo Staking ETH di Ethereum 2.0 minimal adalah 32 ETH atau setara dengan Rp1.792.000.000 dengan kurs saat ini Rp65 juta per ETH.
Di sinilah berlaku komponen Staking Pool itu, di mana beberapa pihak pemilik ETH secara bersama-sama berkontribusi ETH ke Solo Staker. Atas jasa kontribusi itulah mereka juga mendapatkan bunga staking dalam kurun waktu tertentu.
Sejumlah blokchain PoS lainnya punya kebijakan berbeda-beda soal besaran staking ini dalam satuan tahun (APY/annual percentage yield). Lazimnya, semakin banyak yang melakukan staking, maka semakin kecil bunga yang diperoleh dan sebaliknya.
Staking Kripto di Indonesia
Di Indonesia, crypto exchange yang menawarkan produk staking kripto adalah Triv. Mereka menawarkan imbalan staking beragam kripto dengan besaran yang berbeda-beda.
Untuk staking ETH misalnya, bunga tahunan yang ditawarkan antara 4-6 persen per tahun. Minimal ETH yang bisa di-stake adalah setara Rp50 ribu.
Dengan imbalan itu, maka untuk 1 ETH, Anda bisa memperoleh ETH tambahan sekitar 0,0109589 ETH per hari atau 0,33333333 ETH per tahun. Sebagai catatan, blockchain Ethereum saat ini berlangsung secara hybrid, yakni bersistem PoW dan PoS, sehingga sistem staking sudah berlaku.
Staking tentu saja adalah alternatif yang lebih mudah dan berisiko rendah untuk menambah pundi-pundi kripto Anda, khususnya ketika Anda tidak punya keahlian dan waktu untuk trading ataupun ketika pasar kripto sedang lesu dan itu hanya berlaku “by system” untuk sejumlah blockchain yang mengusung Proof-of-Stake (PoS).
Staking dan Earn Aset Kripto Berbeda
Cara lain adalah “earn” atau sejumlah layanan lain menyebutnya dengan istilah “saving“. Tujuan akhirnya adalah sama, yakni mendapatkan tambahkan kripto dari kripto yang kita miliki.
Mereka misalnya menawarkan pendapatan tambahan hingga 4 persen per tahun untuk Bitcoin (BTC) nasabah. Bilangan ini juga berubah-ubah, bisa lebih kecil atau lebih besar.
Berdasarkan simulasi, jika nilai investasi Anda adalah 1 BTC, dengan persentase imbal hasil 4 persen, maka dalam 5 tahun, Anda bisa mendapatkan sekitar 121,66 BTC atau setara dengan 21,66 persen per tahun.
Bandingkan dengan cara meng-hold (menggunakan data 5 tahun terakhir) Anda bisa mendapatkan imbal hasil berlebih yakni, 4500 persen.
Bagaimana Produk Earn Bisa Memberikan Imbalan?
Jikalau produk staking kripto imbalannya diperoleh “by system” dari kode blockchain itu sendiri, maka produk earn punya mekanisme soal asal muasal imbalannya.
Walaupun tidak terlalu banyak informasi detil soal ini, setidaknya ada sejumlah petunjuk untuk menjelaskannya. Salah satu variabelnya adalah dana Bitcoin itu “diputar” ke layanan pihak ketiga. Tentu saja ini adalah dugaan yang cukup spekulatif.
Sejumlah crypto exchange di luar Indonesia sudah lama punya program seperti ini. Di Crypto.com, misalnya Anda bisa mendapatkan imbalan “Bitcoin Earn” hingga 8,5 persen per tahun. Untuk ETH USDC hingga 14 persen per tahun.
Ada pula program OKEx mirip earn yang menjanjikan bunga 1 persen per tahun untuk BTC. Oleh OKEx, BTC itu digunakan untuk produk lainnya, yakni OKEx margin loans. Itu adalah produk pinjaman kepada pengguna lain yang memerlukan BTC, baik untuk trading dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, dana nasabah dalam produk ini digunakan kembali oleh pengelola bursa untuk mendapatkan keuntungan. Hasilnya adalah dibagi kepada kepada pemilik BTC di awal.
Sekali ini, ini bersifat spekulatif dan bisa saja tidak berlaku mekanisme seperti ini. Toh lagipula, bursa perlu lebih terbuka kepada publik terkait penggunaan dana nasabahnya, selain menjamin soal keamanannya.
Perihal produk imbalan kripto yang tidak bersistem PoS ini, Gabriel Rey selaku CEO Triv mengatakan, bisa saja Bitcoin nasabah diputar ke aplikasi DeFi (Decentralized Finance) dengan cara di-swap ke token Wrapped Bitcoin (WBTC).
“Cara ini risikonya juga sangat besar, seperti peretasan yang terjadi terhadap BadgerDAO belum lama ini,” tegas Rey, Kamis (23/12/2021).
Contohnya lainnya, sebut Rey adalah BTC bisa saja diputar ke mekanisme arbitrase, seperti ke produk Grayscale oleh BlockFi.
“Masalahnya adalah nilai produk Grayscale kini sudah negatif. Ini artinya aktifitas investasi ini mengalami kerugian,” sebut Rey, mencontohkan dugaan penurunan nilai investasi produk oleh BlockFi pada Maret 2021 lalu. Rey punya catatan lebih terperinci soal perbedaan antara staking dan earn aset kripto di blog Triv ini.
Kesimpulan
Staking dan earn aset kripto pada dasarnya punya keunggulan masing-masing dan berpulang kembali pada kenyamanan masing-masing pengguna.
Hanya saja, pengelola dana nasabah perlu lebih berhati-hati dan lebih transparan, ke mana dan dari mana dana itu dikelola, sekaligus menjamin ekosistem kripto tidak akan berubah menjadi neraka. [ps]