Lain ladang, lain ilalang. Tak seperti Indonesia, Pemerintah Thailand justru mendukung kripto sebagai alat pembayaran. Namun, penggunaannya dibatasi lewat peraturan khusus.
Kemarin, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan kembali bahwa kripto di Indonesia adalah aset komoditi yang diperdagangkan di bursa berjangka Indonesia, di bawah pengawasan Bappebti, Kementerian Perdagangan. Oleh sebab itu, menurut lembaga independen itu, kripto tidak boleh dijadikan alat pembayaran.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang lembaga jasa keuangan untuk menggunakan, memasarkan, maupun memfasilitasi perdagangan aset kripto.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo menjelaskan, larangan tersebut dilakukan untuk memastikan penggunaan rekening bank atau yang dapat disamakan dengan hal tersebut, tidak digunakan untuk kegiatan yang patut diduga mengandung unsur penipuan, kegiatan rentenir, perjudian, pencucian uang, investasi ilegal dan/atau yang mengandung skema ponzi.
“OJK mengimbau lembaga/kementerian yang melakukan pengawasan terhadap badan hukum diluar kewenangan OJK yang melakukan usaha simpan pinjam, perdagangan dan/atau investasi yg melibatkan dana masyarakat memastikan rekening bank digunakan sesuai dengan ketentuan yg berlaku,” kata dia, Selasa (25/1/2022), dilansir dari Kontan.
Penjelasan OJK sebenarnya bukanlah barang baru, hanya saja yang terakhir ini sebagai bentuk penegasan saja, untuk memperjelas tanggung jawab antara OJK dan Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Pun demikian, Bappebti hingga detik ini belum mewujudkan bursa berjangka kripto seperti yang dijanjikan bertahun-tahun lalu, sejak tahun 2018.
Indonesia versus Thailand soal Kripto untuk Pembayaran
Fitrah Bitcoin dan beberapa kripto lain adalah uang elektronik (electronic cash). Soal ini sudah ditegaskan oleh Satoshi Nakamoto pada judul makalahnya pada tahun 2008 silam. Hanya saja, uang elektronik bukan berbasis nilai dan kebijakan moneter fiat money oleh bank sentral, melainkan oleh orang per orang yang terikat dengan negara.
Bahwa Bitcoin dan kawan-kawan tidak dimasukkan kategori sebagai uang (money) atau mata uang (currency) untuk transaksi sehari-hari, itu sangat bergantung pada peraturan dan kebijakan masing-masing negara.
Berbeda dengan Indonesia yang ‘mengharamkan’ sama sekali kripto sebagai alat transaksi/pembayaran barang dan jasa, Thailand malah melakukan hal sebaliknya.
Regulator sektor keuangan (setara OJK Indonesia) di Thailand, berencana untuk merilis pedoman yang berisi pemanfaatan kripto sebagai alternatif alat pembayaran.
Dalam siaran pers bersama, Bank of Thailand (BOT) sebagai bank sentral, Securities and Exchange Commission (SEC), dan Kementerian Keuangan (MOF) menyatakan bahwa menggunakan kripto untuk pembayaran dapat menimbulkan ancaman bagi sektor keuangan negara.
Mereka mengakui meluasnya penggunaan mata uang digital itu sebagai mode pembayaran, tetapi regulator perlu fokus untuk melindungi konsumen.
Lebih lanjut, regulator menyatakan bahwa mereka telah meninjau manfaat dan kekurangan mata uang digital dalam pembayaran dan risiko volatilitas harga, kejahatan dunia maya, privasi data, dan pencucian uang yang menonjol.
“Mengakui risiko dan dampak seperti itu, regulator akan mempertimbangkan untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan kerangka hukum yang relevan untuk membatasi adopsi aset digital secara luas sebagai alat pembayaran untuk barang dan jasa,” bunyi pernyataan itu, dilansir dari situs resmi BOT.
Peraturan itu diharapkan untuk fokus pada kripto tertentu sembari mempertimbangkan pentingnya inovasi keuangan.
Menurut Sekretaris Jenderal SEC Thailand Ruenvadee Suwanmongkol, selain mengatur ruang, pihaknya memiliki kewajiban untuk mempromosikan pengembangan bisnis aset digital di samping perlindungan konsumen.
Namun, regulator tidak mengungkapkan kapan peraturan itu diharapkan akan diluncurkan dan kripto apa saja yang diperkankan sebagai alat pembayaran. [ps]