Rencana baru dari Presiden AS Donald Trump kembali mengguncang dunia usaha global. Kali ini, kebijakan tarif impor kembali jadi alat tekan yang ditujukan ke sektor teknologi, dengan ancaman langsung ke produk-produk kunci seperti smartphone, laptop, semikonduktor, hingga panel layar datar.
Sinyal ini langsung terasa di pasar keuangan. Menurut laporan The Times, saham-saham raksasa teknologi seperti Apple, Dell dan HP sempat terseret turun begitu kabar ini mencuat ke publik.
Namun, situasinya tidak sepenuhnya hitam putih. Di tengah tekanan, pemerintah AS mengumumkan pengecualian untuk beberapa produk teknologi utama. Smartphone, laptop dan perangkat semikonduktor kini mendapat kelonggaran.
Setidaknya untuk saat ini. Keputusan ini tentu sedikit melegakan bagi sektor industri yang sudah cukup terbebani biaya produksi global pascapandemi dan konflik dagang sebelumnya.
Perusahaan Teknologi Harus Putar Otak
Di sisi lain, tekanan tetap besar. Banyak komponen penting yang masih dikenai bea masuk tinggi. Salah satu analis bahkan memprediksi bahwa harga iPhone 16 Pro Max bisa melonjak dari US$1.199 menjadi lebih dari US$2.100 jika beban tarif tidak ditanggulangi.
Dalam bahasa sederhana, bayangkan membeli satu ponsel flagship seharga dua tiket pesawat PP ke Tokyo. Rasanya tentu bukan keputusan belanja yang ringan bagi banyak konsumen.
Lebih lanjut lagi, perusahaan-perusahaan besar kini sibuk memutar otak. Apakah mereka harus menaikkan harga? Atau menanggung sendiri beban tarif itu demi menjaga loyalitas pelanggan?
Apple misalnya, kabarnya mulai mempercepat langkah untuk memindahkan sebagian produksi ke India, sebuah upaya yang sudah dimulai sejak beberapa tahun terakhir.
Produksi di Dalam Negeri Bukan Solusi Instan
Tapi rencana memindahkan pabrik ke AS sendiri bukan tanpa hambatan. Banyak yang mengira memproduksi barang di negeri sendiri akan lebih efisien, tapi realitanya jauh dari harapan. Pabrik chip TSMC di Arizona contohnya, masih menghadapi penundaan dan kenaikan biaya.
Tenaga kerja yang tersedia belum cukup siap, dan alih-alih mengurangi ketergantungan luar negeri, justru harus mengimpor insinyur dari Taiwan. Ironi yang cukup pahit, bukan?
Kebijakan ini juga membuat pusing mitra dagang AS. Tiongkok, sebagai sasaran utama, langsung membalas dengan tarif balasan sebesar 125 persen terhadap berbagai produk asal AS. Suasana dagang pun makin panas.
Rantai pasokan global, yang sudah kompleks dan saling terikat, berisiko mengalami gangguan tambahan. Beberapa analis bahkan menyebutkan bahwa efek domino dari kebijakan ini bisa memicu perlambatan ekonomi global jika tidak segera dikendalikan.
Dunia Kripto Juga Kena Imbas
Menariknya, dampak dari kebijakan ini juga ikut dirasakan dalam ruang kripto. Tekanan terhadap sektor teknologi dan ketidakpastian rantai pasok mendorong sebagian investor untuk melirik aset digital sebagai alternatif lindung nilai.
Di AS, minat terhadap stablecoin berbasis dolar dan platform tokenisasi mulai tumbuh kembali.
Sementara itu, di kancah global, negara-negara yang mencari kestabilan perdagangan mulai menjajaki penggunaan aset kripto dalam transaksi lintas batas, untuk menghindari fluktuasi tarif seperti ini.
Namun demikian, situasi masih terus berkembang. Kebijakan dagang Trump seringkali berubah arah secepat breaking news di pagi hari.
Dunia usaha kini hanya bisa menyesuaikan diri sebaik mungkin. Sambil berharap, tentu saja, agar perang tarif tidak kembali mengorbankan konsumen dan industri secara bersamaan. [st]