The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan, Ini Dampaknya ke Warga AS dan Bitcoin

Rabu, (16/3/2022) waktu setempat, The Fed alias Bank Sentral Amerika Serikat resmi menaikkan suku bunga acuan. Inilah kali pertama sejak 2018 dan kali pertama sejak Maret 2020 ketika kebijakan pelonggaran kuantitatif menjadi faktor tingginya inflasi di Negeri Paman Sam. Sedangkan pelaku pasar Bitcoin terkesan wait dan see.

Sejak Maret 2020 The Fed menggelar kebijakan pelonggaran kuantitatif alias meningkatkan pasokan dolar lebih banyak ke pasar. Cara ini dibuat dengan menurunkan suku bunga, sehingga biaya peminjaman modal di bank jauh lebih murah daripada sebelumnya. Keputusan itu berpangkal dari mandeknya ekonomi global akibat pandemi.

Inilah, salah satunya menyebabkan arus modal dolar AS masuk ke pasar kripto yang relatif berisiko tinggi, namun memberikan imbal hasil yang besar dalam waktu singkat.

Keputusan itu justru meningkatkan laju inflasi di AS menjadi 7,8 persen year-on-year pada Januari 2022 lalu. Inilah yang tertinggi di rentang waktu serupa sejak tahun 1981.

Pada akhir tahun lalu pula The Fed sudah berwacana berulang-ulang kali bahwa kenaikan suku bunga perlu dipercepat. Jadilah Rabu, (16/3/2022) waktu setempat lembaga itu menaikkan suku bunga sebesar 0,25 persen. Diperkirakan akan ada kenaikan sebanyak 6 kali di tahun ini.

The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan

Warga AS telah terbiasa dengan suku bunga rendah untuk meminjam uang, membuatnya murah untuk mendapatkan pinjaman untuk membeli rumah, mobil, atau kebutuhan lainnya.

Tetapi sekarang mereka mereka membayar lebih besar untuk semua jenis pinjaman dan kredit tahun ini, karena The Fed telah menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya sejak 2018.

Pejabat The Fed pada Rabu sore mengumumkan, bahwa mereka menaikkan suku bunga acuan jangka pendek bank sentral sebesar 0,25 persen.

“Invasi Ukraina oleh Rusia menyebabkan kesulitan ekonomi yang luar biasa. Implikasinya terhadap ekonomi AS sangat tidak pasti, tetapi dalam waktu dekat invasi dan peristiwa terkait kemungkinan akan menciptakan tekanan kenaikan tambahan pada inflasi dan membebani kegiatan ekonomi,” tulis The Fed. Rinciannya bisa dibaca di laman ini.

Besaran 0,25 persen itu mungkin tidak tampak besar, tetapi pergerakan seperempat poin dalam tingkat diharapkan hanya yang pertama dari beberapa kenaikan tahun ini karena, The Fed menormalkan kebijakan moneter dan mencoba meredam inflasi paling tinggi dalam beberapa dekade.

Kenaikan tersebut juga menandai pertama kalinya dalam empat tahun bank sentral menaikkan suku bunga, menandakan bahwa era uang murah akan segera berakhir.

Alasan The Fed di balik kenaikan suku bunga adalah untuk mengerem inflasi, yang bulan lalu mencapai tingkat tertinggi 40 tahun di 7,9 persen.

Dengan membuat biaya peminjaman uang menjadi lebih mahal untuk membeli rumah, mobil, atau barang lain, The Fed berharap bahwa beberapa konsumen dan bisnis akan memutuskan untuk menunda pembelian, yang pada gilirannya meredam kenaikan harga karena permintaan yang lebih rendah.

“Karena suku bunga naik, hipotek dan mobil menjadi lebih sulit untuk dibeli. Manfaatnya adalah, jika mereka dapat melakukan ini tanpa menyebabkan resesi, itu akan menurunkan harga inflasi,” kata Dick Pfister, CEO Alphacore Wealth Advisory, kepada CBS MoneyWatch.

The Fed melihat indikator ekonomi seperti pasar tenaga kerja, dengan tingkat pengangguran mendekati tingkat pra-pandemi.

Namun sementara ekonomi berada di tanah yang kokoh, ada risiko dengan perubahan strategi The Fed, mengingat bahwa suku bunga yang lebih tinggi berarti biaya lain yang harus diserap oleh anggaran rumah tangga.

Ini Dampak Kenaikan Suku Bunga kepada Warga AS

Lantas bagaimana secara konkret dampak kenaikan suku bunga ini kepada warga AS, dari segi biaya?

Begini. Setiap kenaikan 0,25 persen, itu sama dengan tambahan bunga US$25 per tahun untuk hutang US$10.000.

Jadi, jika The Fed menaikkan suku bunga sebesar 1,5 persen selama enam kali kenaikan tahun ini, seperti yang diperkirakan banyak ekonom, konsumen akan membayar tambahan US$150 per tahun untuk utang itu.

Itu bisa bertambah dengan cepat, terutama bagi peminjam yang ingin membeli barang-barang mahal seperti rumah atau mobil, yang keduanya telah menyaksikan lonjakan harga yang tajam selama pandemi, karena persediaan yang rendah dan permintaan yang kuat.

Wall Street memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga setidaknya enam kali pada 2022, yang akan membawa tingkat kebijakan antara 1,5 persen hingga 1,75 persen, kata ahli strategi LPL Financial Lawrence Gillum dan Ryan Detrick.

Itu bisa menambah krisis anggaran yang dirasakan oleh banyak konsumen, kata para ahli.

“Rumah tangga bisa saja menghadapi inflasi yang meroket dari meningkatnya biaya pinjaman ini,” jelas Matthew Sherwood, Ekonom di Economist Intelligence Unit,” kepada CBSNews.

Jikalau Kenaikan Terlalu Agresif Justru Bisa Resesi

“Ini juga berarti bahwa kita harus bersiap menghadapi resesi ekonomi yang buruk ketika The Fed pada akhirnya terpaksa menaikkan suku bunga lebih agresif untuk mengendalikan inflasi,” tulis Desmond Lachman dari American Enterprise Institute di CNN, Kamis (17/3/2022).

Bagi Desmond, kenaikan suku bunga acuan menjadi 0,25-0,5 persen masih terhitung negatif jika disesuaikan dengan tingkat inflasi yang mencapai hampir 8 persen. Konflik Rusia-Ukraina juga menambah suram tingkat inflasi, karena komoditas energi seperti bensin menjadi sangat mahal di AS.

Bahkan sebelum invasi Rusia ke Ukraina dan wabah Covid-19 baru di China, ekonomi AS menghadapi kekacauan pasar keuangan dan inflasi. Tahun lalu, The Fed mempertahankan suku bunga terlalu rendah terlalu lama dan membiarkan jumlah uang beredar meningkat dengan cepat.

Itu terjadi pada saat ekonomi sudah pulih dengan kuat dan telah menerima stimulus bersejarah senilai US$2 triliun .

Itu juga terus membeli sejumlah besar obligasi pemerintah AS dan sekuritas berbasis hipotek pada saat yang sama valuasi ekuitas AS dan harga perumahan meroket.

Bagi Desmond, The Fed dalam kondisi terjepit. Dengan latar belakang inflasi yang terlalu tinggi dan mengempisnya ekuitas dan gelembung pasar kredit yang tidak menyenangkan inilah The Fed harus mempertimbangkan langkah selanjutnya dengan hati-hati.

“Keputusannya bergerak maju akan memiliki pengaruh yang sangat besar pada arah ekonomi untuk sisa tahun ini. Jika menaikkan suku bunga terlalu agresif, mungkin berhasil dalam menjinakkan inflasi, tetapi akan melakukannya dengan risiko meledaknya harga aset dan gelembung pasar kredit. Itu, pada gilirannya, dapat memicu resesi ekonomi dengan menghapus kekayaan rumah tangga dan menyebabkan ketegangan dalam sistem keuangan,” sebutnya.

Dampak ke Biaya Kartu Kredit

Biaya kartu kredit juga cenderung naik sejalan dengan langkah The Fed, karena biaya kartu didasarkan pada suku bunga utama bank, yang bergerak bersama-sama dengan suku bunga acuan ini.

Satu keuntungan bagi konsumen adalah imbal hasil yang lebih tinggi di rekening tabungan dan sertifikat deposito Anda, dalam batas-batas tertentu.

Masalahnya adalah jika bunga tabungan lebih daripada tingkat bunga rata-rata 0,06 persen hari ini, inflasi bisa naik jauh lebih tinggi. Akibatnya, menyimpan uang dalam bentuk tabungan biasa, justru merugikan.

“Jika bunga tabungan naik menjadi 1 persen dan inflasi tetap mendekati 8 persen, Anda masih rugi 7 persen, kecuali kenaikan suku bunga memang menjinakkan inflasi,” kata Pfister, CEO Alphacore Wealth Advisory, kepada CBS.

Pasar Bitcoin Masih Wait dan See

Setelah reaksi bullish awalnya, Bitcoin berkonsolidasi lebih tinggi kemarin dan masih di sekitar US$41 ribu ketika artikel ini ditulis.

Analis kripto Michaël van de Poppe, mengatakan area tepat di bawah US$40.000 saat ini adalah penting untuk beralih ke support.

“Reaksi yang baik dari pasar di sini, di mana ia menembus US$39,6 ribu,” katanya di Twitter beberapa hari lalu.

Dia berpendapat, jika mampu melampaui US$42 ribu, itu akan membuka peluang masuk ke US$46 ribu, maka Bitcoin perlu bertahan di US$39,6 ribu.

Harapan investor Bitcoin dan kripto lainnya terletak pada efektivitas kebijakan pengetatan kuantitatif ini. Jika gagal dan inflasi justru terus tak terkendali dan menuju resesi, karena kekurangcakapan The Fed yang mungkin terlalu agresif, ini memberikan ruang besar bagi kelas aset baru ini dengan cepat meroket lagi.

Pun lagi, secara teknikal Bitcoin misalnya pada time frame harian, memanfaatkan indikator RSI, akumulasi memang secara bertahap terjadi sejak akhir Februari 2022 lalu, karena garis RSI berada di atas 40 dan 50. Lihat gambar di bawah.

Sedangkan pada time frame mingguan, RSI support Bitcoin tergambar mendaki sejak tahun 2018 silam. Berdasarkan data itu pula, terlihat pergerakan rata-rata RSI menunjukkan penguatan cukup penting pada awal Maret 2020 di plot 40,73. Garis RSI perlu di bertahan di atas 40 dan 50 agar cukup disebutkan menuju bull run. Lihat gambar di bawah.

Ini bermakna, dalam jangka panjang, masih ada harapan Bitcoin menguat, kendati ada potensi golden cross pada indeks dolar AS (DXY) di time frame mingguan yang kelak bisa menekan lagi harga Bitcoin dan akan diikuti oleh kripto lainnya. [ps]

Terkini

Warta Korporat

Terkait