The Fed menilai ada potensi disrupsi stablecoin USDT terhadap pasar kredit di masa depan. Pasalnya USDT bernilai dolar sangat mudah diakses dan murah dari segi biaya kirim dibandingkan bank dan fintech.
USDT Bisa Mengguncang
Dalam sebuah presentasi, Presiden The Fed Boston, Eric Rosengren, mengeluarkan gagasan regulasi dan pengawasan untuk stabilitas keuangan.
Rosengren mengidentifikasi stablecoin Tether (USDT) sebagai bagian dari tiga “Tantangan Stabilitas Keuangan” di masa depan. USDT punya tandatangan tersendiri.
Tantangannya termasuk risiko terhadap pasar perumahan, kebutuhan akan fasilitas pinjaman darurat pada saat krisis, dan disrupsi berkala terhadap pasar kredit jangka pendek.
Sekadar informasi, secara umum, pasar kredit adalah pasar di mana perusahaan dan pemerintah menerbitkan utang kepada investor maupun masyarakat, seperti obligasi tingkat investasi, obligasi ritel, dan surat berharga jangka pendek.
Terkadang, ini juga disebut sebagai pasar utang, karena pasar kredit juga mencakup penawaran utang, seperti wesel dan kewajiban sekuritisasi, termasuk kewajiban utang yang dijaminkan (CDO), sekuritas berbasis hipotek dan credit default swap (CDS).
“Alasan kami harus sedikit khawatir tentang stablecoin adalah karena stablecoin tumbuh sangat pesat, sehingga ada pertumbuhan eksponensial dalam stablecoin.. Saya pikir kita perlu berpikir lebih luas tentang apa yang dapat mengganggu pasar kredit jangka pendek dari waktu ke waktu, dan tentu saja stablecoin adalah salah satu elemennya,” kata Rosengren, dilansir dari Cointelegraph, Minggu (27/6/2021).
Pada prinsipnya stablecoin bukanlah ancaman bagi pasar kredit, tetapi perlu dievaluasi dalam hal risiko yang mungkin ditimbulkan jika token ini terus tumbuh untuk melahap segmen pasar kredit, dan sejauh mana The Fed dapat mendukung pasar yang didominasi stablecoin.
“Saya khawatir bahwa pasar stablecoin yang saat ini, cukup banyak tidak diatur seiring pertumbuhannya dan menjadi sektor yang lebih penting dari ekonomi kita, bahwa kita perlu menganggap serius apa yang terjadi ketika orang lari dari instrumen jenis ini dengan sangat cepat. Dan seperti dana pasar uang yang menyebabkan gangguan buruk di pasar kredit, saya pikir masalah stabilitas keuangan di masa depan dapat terjadi jika kita tidak mulai berpikir dengan hati-hati tentang apa yang terjadi pada hal-hal seperti stablecoin saat kita mengalami kesulitan pasar yang buruk,” kata Rosengren.
Pasar Kredit di Indonesia
Pengambilalihan pasar kredit oleh perusahaan berbau digital pun mulai bisa kita lihat di Indonesia, salah satunya dari para perusahaan fintech.
Berdasarkan catatan dari Bank Mandiri, pertumbuhan kredit konsumer sebesar 7,9 persen menjadi Rp94,3 triliun pada 2019, telah melambat dibandingkan pertumbuhan 2018 yang sebesar 11,6 persen.
“Pertumbuhan kredit konsumer melambat karena sejumlah faktor, salah satunya adalah perebutan pangsa pasar kredit oleh fintech alias perusahaan pinjaman online,” kata Direktur Consumer & Retail Transaction Bank Mandiri, Hery Gunardi, dilansir dari Detikcom, Jumat (24/6/2021).
Sebenarnya, mengapa fintech dapat merebut pangsa pasar kredit perbankan adalah karena mudahnya masyarakat untuk meminjam di fintech, yang secara mayoritas hanya membutuhkan KTP saja dan dapat cair dengan cepat.
Bagi masyarakat yang kesulitan untuk mengakses perbankan, yang sudah sering kita jumpai, fintech adalah solusi yang nyata, sehingga perbankan mungkin perlu berkaca dari situ agar tidak semakin tertinggal dan mencari alasan yang kurang mengena saat pasar kredit semakin beralih ke fintech, atau bahkan ke perusahaan pinjaman kripto berbasis CeFi dan DeFi di masa mendatang.
Dalam konteks USDT misalnya, berkat blockchain yang bisa diakses secara global, memudahkan banyak orang mengakses nilai dolar, tanpa melalui bank.
Dolar itu pun sangat mudah ditransfer ke mana saja selayaknya mengirimkan dolar lewat PayPal, dengan biaya sangat rendah. [st]