Bitcoin acapkali dituduh buruk sebagai alat simpan nilai (store of value) disebabkan volatilitasnya. Tetapi di tengah kondisi pasar global yang marak dengan suku bunga negatif seperti di Eropa, alat simpan nilai seperti emas dan Bitcoin bisa menjadi solusi.
Simpan nilai digunakan sebagai “tabungan” demi mempertahankan atau meningkatkan daya beli investor. Dahulu kala, tabungan disimpan dalam bentuk uang fiat (dolar atau rupiah). Tetapi sekarang kebijakan moneter oleh bank sentral mengikis kegunaan uang fiat dan obligasi (bond/surat utang negara ataupun perusahaan) sebagai tabungan, dan investor beralih ke properti dan saham sebagai gantinya.
Riwayat uang fiat menunjukkan fungsinya sebagai alat simpan nilai semakin longsor. Sebagai contoh, inflasi menyebabkan daya beli terhadap uang dolar AS hanya sebesar 16 persen dibanding tahun 1972, berdasarkan data indeks harga konsumen uang dolar AS tahun 2017.
Menanggapi melemahnya uang fiat, investor beralih memegang instrumen investasi jangka pendek. Namun, instrumen investasi jangka pendek menunjukkan tren menurun sehingga kalah dengan laju inflasi.
Alternatif lain adalah investor dapat membeli instrumen utang jangka panjang, seperti obligasi. Tetapi data menunjukkan imbal obligasi berada di titik terendah di negara-negara maju, di tengah-tengah tingkat utang yang semakin meroket. Hal tersebut berarti obligasi besar kemungkinan akan kehilangan nilainya di masa depan.
Di luar uang fiat dan obligasi, properti dan saham menjadi pilihan popular. Aset-aset tersebut terkait langsung dengan aktivitas ekonomi, seperti pendapatan, sewa dan kepemilikan sehingga imbal hasilnya jarang berada di bawah laju inflasi. Properti dan saham lazimnya tidak dianggap sebagai alat simpan nilai, tetapi investor menggunakannya sebagai alat simpan nilai dikarenakan kegagalan uang fiat atau investasi jangka pendek.
Emas adalah alat simpan nilai yang digunakan sepanjang sejarah peradaban manusia dikarenakan karakteristinya yang langka, sulit ditambang dan memiliki kegunaan produktif yang sedikit. Ada jumlah emas terbatas di planet Bumi, dan suplai tersebut bertambah hanya 1-2 persen per tahun.
Tetapi jumlah cadangan emas di pasar tidak dapat dilacak secara pasti dan transparan. Keyakinan publik hanya berdasarkan data-data dari pemerintah atau bank. Swiss misalnya punya cadangan emas yang banyak untuk menjami investasi di sana, termasuk menyimpan uang, sehingga konglomerat merasa aman menyimpan duitnya di sana. Hanya sebatas itu informasi soal emas.
Beda dengan komoditas lain, emas jarang digunakan untuk produksi sehingga tidak dihancurkan. Jumlah emas di atas tanah terus bertambah dengan stock to flow ratio (rasio suplai emas dibanding pertambahannya) yang tinggi, bahkan paling tinggi dibanding komoditas lain. Rasio inilah yang menyebabkan pasar bebas memilih emas sebagai medium uang selama ribuan tahun.
Sejak dekade 1980-an, bank sentral menerapkan kebijakan suku bunga rendah demi menggenjot ekonomi tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Pasca tahun 2000, kebijakan tersebut semakin parah dengan adanya suku bunga negatif dan quantitative easing (penambahan suplai uang fiat yang mengakibatkan inflasi lebih tinggi).
Artinya, di negara-negara yang menerapkan kebijakan demikian, seperti Jepang dan Eropa, pemegang obligasi justru membayar pemerintah alih-alih mendapat imbal dari obligasi itu. Diperkirakan, hal berikutnya yang terjadi dengan suku bunga negatif adalah nasabah bank membayar bank untuk menyimpan uang nasabah.
Skenario besar global ini mendesak investor mencari alternatif alat simpan nilai. Properti, koleksi seni dan benda langka serupa serta saham bisa menjadi opsi, tetapi masing-masing memiliki resiko dan tidak dimaksudkan untuk berfungsi sebagai alat simpan nilai.
Emas, kendati volatil, menjadi pilihan yang semakin menarik. Begitu pula dengan Bitcoin, yang meskipun saat ini masih rumit dan belum teregulasi, memiliki karakteristik alat simpan nilai mirip emas. Terlepas dari itu, kebijakan moneter global yang semakin merugikan nasabah menjadi pendorong utama meningkatnya permintaan terhadap teknologi alat simpan nilai.
Kendati Bitcoin tidak digunakan sebagai unsur tambahan di perangkat elektronik, tetapi Bitcoin dapat dengan mudah dilacak keberadaannya secara elektronis dan terbuka serta setiap orang bisa berperan di dalamnya: berapa jumlah yang beredar dan berapa yang belum “ditambang” dan siap diedar. Dengan periode setiap 10 menit terbit Bitcoin yang baru, dan setiap 4 tahun sekali berkurang separuhnya, maka 21 juta unit Bitcoin sebagai jumlah maksimalnya akan berakhir pada tahun 2140. [techcentral.co.za/ed]