Universitas California mengakui telah membayar tebusan senilai US$1,14 juta (Rp16 miliar) kepada peretas demi bisa mengakses kembali datanya. Berdasarkan informasi yang diperoleh BBC, universitas membayar dalam bentuk Bitcoin sebanyak 116,4 BTC.
Pada 1 Juni 2020 staf teknologi informasi di universitas itu menemukan bahwa sejumlah komputer server di Fakultas Kedokteran telah terkontaminasi dengan malware. Akibatnya banyak data penelitian penting yang terenkripsi dan sama sekali tidak dapat diakses.
“Data-data penelitian itu sangat demi kepentingan publik, terkait COVID-19. Karena itu kami membuat keputusan sulit dengan membayar sebagian tebusan yang diminta, sekitar US$1,14 juta, kepada peretas itu,” kata pihak universitas dalam siaran pers, Jumat lalu.
Pihak universitas memang tak mengakui bahwa mereka telah membayar dalam bentuk Bitcoin. Tetapi, berdasarkan informasi yang diterima oleh BBC, pihak kampus sudah mentransfer sebesar 116,4 BTC.
Jan Op Gen Oorth, dari Europol, mengatakan para korban semestinya tidak membayar tebusan, karena praktis menguntungkan mereka dan membuat mereka semakin percaya melakukan hal serupa kepada pihak lain.
“Sebaliknya, para korban harus melaporkannya kepada polisi. Biarkan hukum yang memberantas mereka,” katanya.
Namun Brett Callow dari Emsisoft, mengatakan korban sebenarnya tidak punya pilihan lain, karena data-data itu sangat penting dan bernilai. [BBC/red]