Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 37 tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham (Equity Crowdfunding) Berbasis Teknologi Informasi. Dalam POJK tersebut, salah satu bentuk teknologi informasi yang dapat digunakan adalah teknologi blockchain.
OJK memang sudah merilis secara resmi informasi perihal POJK itu melalui media massa. Namun, tidak secara terperinci menyoal penggunaan teknologi blockchain. Sebab, akan berdampak pada aspek penerbitan coin atau token digital sebagai mediumnya. Sejumlah perusahaan rintisan di Indonesia, seperti Santara dan Silkroad Eight sudah mendaftarkan diri sebagai Penyelenggara berdasarkan POJK itu. Dan kemungkinan besar akan diikuti oleh perusahaan terkait blockchain lainnya.
Sejumlah pelaku blockhain dan kripto lainnya di Indonesia menanggapi positif soal POJK itu. Mereka menilai, namun dengan sejumlah catatan khusus, dengan diperbolehkannya menggunakan blockchain untuk menjaring dana dari masyarakat sebagai pilihan instrumen investasi, akan membuka jalan bagi penerapan teknologi blockchain lainnya di Indonesia.
Harus Dipatuhi
“Menurut saya ini sangat menarik. Tapi ingat, ini bukanlah peraturan khusus soal blockchain, tetapi pemanfaatan teknologi informasi secara umum, di mana blockchain adalah satu teknologi yang bisa digunakan. Pada bagian penjelasan untuk pasal 47 misalnya, istilah blockchain disebutkan secara eksplisit sebagai teknologi pendukung urun dana (equity crowdfunding). Setidaknya ini bisa dijadikan sebagai acuan bagi kegiatan terkait blockchain di Indonesia. POJK ini jelas capaian yang luar biasa. Perusahaan harus mengikuti aturan ini, sehingga aktivitasnya tak ‘abu-abu’ lagi,” kata Pandu Sastrowardoyo, Sekretaris Jenderal Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) kepada Blockchainmedia.id melalui Telegram belum lama ini.
Bagus, Tapi hati-hati
Sementara itu, Gabriel Rey CEO Triv mengungkapkan, POJK ini bagus sekali, apalagi diperbolehkannya menggunakan teknologi blockchain. Dan lebih bagus lagi, katanya, karena dalam POJK itu ada modal dasar minimal yang harus disetor oleh pihak Penerbit dan diajukan kepada pihak Penyelengara yang diawasi oleh OJK.
“Jadi, kelak tidak ada lagi perusahaan yang asal-asal bikin fundraising dan membahayakan investor. Pihak Pemodal (investor) juga harus memperhatikan model bisnis yang ditawarkan oleh Penerbit. Misalnya, bagaimana cara bisnis tersebut memperoleh pendapatan dan mencetak net profit-nya. Jika langkah ini investor tidak paham, jangan coba-coba berinvestasi. Investor juga harus membandingkan dengan Penerbit lainnya, apa kelebihannya apa kekurangannya. Apakah masuk akal hitung-hitungannya, sehingga tidak asal berinvestasi dan rugi,” kata Rey.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan, kata Rey, adalah soal likuiditas. Berbeda dengan pasar saham di bursa efek. Jikalau investor ingin jual atau beli dalam jumlah banyak, tidak ada masalah. Sebab, pasti ada pihak lain yang bisa membeli atau menjual. Jika menggunakan skema crowdfunding ini, investor akan mengalami kesulitan jika ingin membeli atau menjual dalam jumlah besar. Bisa jadi investor tidak bisa melakukan cashout sewaktu-waktu.
“Misalnya hari ini Anda membeli saham Telkom di Bursa Efek Indonesia senilai 500 juta rupiah. Lima menit kemudian Anda ingin menjual saham itu di harga yang sama atau lebih, pasti ada yang mau beli. Ini berbeda dengan skema urun dana. Misalnya Anda menginvestasikan sebesar 50 juta dalam bentuk saham di perusahaan, belum tentu nanti ada investor lain yang mau membeli saham Anda itu. Jikalau pun ada, paling tidak terjual di bawah harga belinya. Lagipula, perusahaan tempat Anda menanam dana itu bisa jadi bangkrut. Kalau misalnya investor mendapatkan dividen, ya bisa-bisa saja. Tapi itu bergantung lagi pada kinerja perusahaannya. Bisa jadi ada perusahaan tak memberikan dividen sama sekali. Kalau di pasar saham tradisional, BNI misalnya memberikan dividen sebesar 3 persen dari harga saham per lembar. Sedangkan BCA bahkan lebih kecil,” tandasnya. [vins]