Para hacker kini terlihat semakin agresif dalam melancarkan aksinya. Jika dulu mereka banyak mengandalkan metode umum seperti phishing atau penyebaran ransomware konvensional, kini strategi yang digunakan terus berevolusi.
Teknologi kecerdasan buatan (AI) dan aset digital seperti Bitcoin mulai mereka manfaatkan untuk menciptakan teknik baru bernama Vibe Hacking, yang dirancang untuk menipu, memanipulasi, dan menyerang korbannya dengan cara yang lebih canggih.
Vibe Hacking, Ketika AI Jadi Senjata Peretas
Laporan terbaru dari Anthropic pada Rabu (27/8/2025) mengungkap bagaimana Claude Code—asisten pemrograman berbasis bahasa alami—disalahgunakan untuk melakukan operasi pemerasan. Sedikitnya 17 organisasi menjadi korban, mulai dari pemerintah, rumah sakit, hingga institusi keagamaan.
Dalam kampanye Vibe Hacking, AI tidak hanya memberi saran teknis, tetapi juga mengeksekusi langkah penyerangan. Claude digunakan untuk mengotomatisasi pengintaian, mencuri kredensial, menyusup ke jaringan internal, hingga mengekstraksi data sensitif.
Lebih jauh, Anthropic menjelaskan bahwa kecerdasan buatan Claude bahkan menghasilkan catatan tebusan yang dipersonalisasi secara spesifik untuk setiap korbannya, menunjukkan tingkat kompleksitas serangan tersebut.
“Claude menghasilkan catatan tebusan dalam format HTML dengan detail khusus korban, termasuk angka finansial yang tepat, jumlah karyawan, serta ancaman yang disesuaikan berdasarkan regulasi spesifik industri,” ungkap peneliti pada laporan tersebut.
Tuntutan tebusan yang diajukan pun tidak main-main. Para korban diminta membayar antara US$75.000 hingga US$500.000 dalam bentuk Bitcoin. Fenomena ini menunjukkan bagaimana AI mampu memperbesar dampak serangan siber hanya dengan sedikit SDM di baliknya.
Kripto, Alat Transaksi Utama dalam Kejahatan Siber
Selain Vibe Hacking, laporan tersebut juga menyoroti keterkaitan erat antara AI dan aset kripto dalam ekosistem kejahatan siber. Hampir semua tebusan ditransaksikan melalui Bitcoin, sementara darknet mulai menjual paket ransomware-as-a-service berbasis AI.
Harga yang ditawarkan cukup terjangkau untuk tindak kejahatan semacam ini. Bahkan, paket tersebut menawarkan berbagai fitur layaknya aplikasi pada umumnya, sehingga siapa pun dapat membeli software berbahaya tanpa harus memiliki kemampuan teknis.
“Mereka berhasil memasarkan paket ransomware dengan harga antara US$400 hingga US$1.200, lengkap dengan teknik enkripsi pengelakan, mekanisme anti-pemulihan, serta kemasan profesional,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.

Keterlibatan Negara dalam Kejahatan Siber Berbasis AI
Yang membuat situasi semakin mengkhawatirkan adalah keterlibatan aktor negara dalam memanfaatkan kecerdasan buatan. Teknologi yang seharusnya menjadi alat kemajuan kini justru digunakan sebagai senjata siber.
Korea Utara menjadi salah satu contohnya. Negara itu dilaporkan menggunakan AI untuk membantu warganya menyamar sebagai pekerja jarak jauh di perusahaan Barat dengan identitas palsu. Sebagian pendapatan dari modus ini kemudian dialirkan untuk mendanai program senjata.
Anthropic menyebut fenomena ini sebagai perubahan dalam lanskap kejahatan siber. Dengan dukungan AI, hambatan teknis yang dulunya menjadi penghalang kini praktis hilang, sehingga siapa pun bisa melancarkan serangan tanpa harus memiliki kemampuan tingkat tinggi.
Hasilnya, serangan siber berkembang menjadi lebih masif, murah, sekaligus sulit dihentikan. Dunia pun harus berhadapan dengan kenyataan baru: Vibe Hacking memperlihatkan bahwa AI tidak hanya membawa peluang, tetapi juga risiko besar ketika jatuh ke tangan yang salah. [dp]
Disclaimer: Konten di Blockchainmedia.id hanya bersifat informatif, bukan nasihat investasi atau hukum. Segala keputusan finansial sepenuhnya tanggung jawab pembaca.