Dari sisi Bank Sentral Tiongkok (PBOC), mereka tampak percaya diri dengan mengklaim, bahwa yuan digital dalam sistem DCEP (Digital Currency Electronic Payment), kelak mampu menebas dominasi dolar. Tapi ini lebih condong ke pertanyaan daripada pernyataan.
Bahkan pada September 2020 lalu, Steven Suhadi, pejabat di Dewan Pengawas Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI), dengan sejumlah argumennya meyakini yuan digital mungkin akan menjadi katalisator yang menjadikan yuan [yuan adalah sebutan satuan mata uang, dan renminbi nama mata uangnya–Red], sebagai mata uang cadangan dunia berikutnya.
Kalimat terakhir itu sangat keliru. Mungkin yang Steven maksudkan adalah “bisa mendominasi dolar”, karena renminbi sudah menjadi mata uang cadangan sejumlah negara, walaupun masih kecil, yakni 2,05 persen. Sedangkan dolar lebih besar, yakni 61 persen. Renminbi hanya menang melawan dolar Australia (1,69 persen) dan dolar Kanada (1,89 persen).
Pada tahun 2015 saja Bank Indonesia sudah mengakui sudah menggunakan renminbi sebagai cadangan devisa.
Maka, tak heran pula Bank Indonesia dan Bank Sentral Tiongkok (PBOC) sepakat menggunakan rupiah-yuan dalam perdagangan antar kedua negara, termasuk dalam program investasi langsung.
Steven juga menyandarkan pernyataannya itu pada proyek One Belt One Road (OBOR) yang mencakup banyak negara termasuk Indonesia, yang memampukan penggunaan renminbi yang semakin luas.
Di sisi itu Suhadi benar, tetapi sangat tidak mudah, mengingat pengaruh Amerika Serikat masih amat kuat, khususnya soal cara merawat dan mengelola kebijakan perdagangan, politik dan lain sebagainya, demi menguatkan nilai dolar di tingkat internasional. Artinya, perlu waktu lagi dan bukan sekadar gara-gara teknologinya.
Adalah fakta bahwa mata uang renminbi sejak Oktober 2016 menjadi bagian dari Special Drawing Rights Basket (SDRB) IMF.
Itu tonggak penting sebagai pengakuan lembaga internasional terhadap pertumbuhan perdagangan dan ekonomi Tiongkok. Dengan status bergengsi itu pula mata uang renminbi setaraf dengan dolar AS, euro, yen dan pound Inggris.
Kita lihat lagi soal klaim yuan digital yang disebut-sebut sebagian berteknologi blockchain itu, mampu bersaing dengan dolar AS.
Pada 27 Oktober 2020 lalu, Zhou Xiaochuan, mantan Gubernur Bank Sentral Tiongkok (PBOC) mengatakan bahwa faktor utama yuan digital adalah untuk menghindari “dolarisasi”, di mana dolar AS digunakan secara paralel atau sebagai pengganti mata uang lokal.
Pada Jumat pekan lalu PBOC bahkan sudah menerbitkan rancangan undang-undang bagi DCEP itu agar berkekuatan hukum tetap, sebelum bisa digunakan secara luas.
DCEP sendiri dibidani sejak tahun 2014, ketika bank sentral itu secara agresif meneliti dan mengembangkan mata uang digital sendiri, ketika Bitcoin dan sejumlah aset kripto/mata uang digital “swasta” lainnya yang berteknologi blockchain, sedang naik daun.
Dan sejak Mei 2020 yuan digital sudah diujicoba beberapa kali di dalam negeri, seperti di Suzhou, Shenzhen, Chengdu dan Xiongan.
Bahkan PBOC berencana akan mengujicoba yuan digital itu dalam skala yang lebih luas dalam ajang Olimpiade Musim Dingin pada tahun 2022 mendatang di Beijing.
Beijing telah memperjelas bahwa tujuan DCEP termasuk kelak mengganti uang tunai sepenuhnya [kelak tak ada lagi uang kertas fisik, seperti yang sekarang masih digunakan di desa-desa di Tiongkok-Red], mempertahankan kendali pemerintah atas mata uang dan menciptakan skenario aplikasi ritel kecil sebanyak mungkin.
Yuan digital akan didistribusikan melalui Bank Sentral Tiongkok ke penyedia tingkat kedua yang resmi, termasuk bank-bank besar milik negara, operator telekomunikasi yang dikendalikan negara dan penyedia pembayaran daring oleh Ant Group dan Tencent, kata Zhou.
Kebijakan bukan Teknologi
Mengacu pada pernyataan Anthony Pompliano beberapa waktu lalu, teknologi pada prinsipnya bukanlah penentu utama nilai pada mata uang, melainkan pada kebijakan penggunaan mata uang itu dalam transaksi.
“Uang tidak ada urusan dengan teknologi, melainkan masalah kebijakan moneter,” katanya.
Lalu, Dr. Saifedean Ammous, pakar ekonomi yang juga penulis buku The Bitcoin Standard, mencontohkan, antara dolar AS dan yen.
Katanya, ketika sejumlah orang kurang suka 10 yen daripada 1 dolar AS, maka orang lainnya masih lebih suka menyimpan 1 dolar AS daripada 10 yen. Penyebabnya adalah, karena nilai 1 dolar AS lebih daripada 10 yen.
“Jadi, bukan jumlah unit uangnya yang Anda peroleh, tetapi daya belinya,” jelas Ammous.
Bahwa nilai dolar AS itu diapresiasi, bukan karena dia berteknologi tinggi atau tidak, melainkan dilatarbelakangi kemampun negara AS dalam mengelola kebijakan moneter, kebijakan fiskal, termasuk keputusan politik dalam dan luar negeri. Inilah pula yang menentukan nilai dan daya belinya.
Sentimen yang positif terhadap kebijakan itu, maka sejauh dan seluas itulah dolar AS digunakan. Sebaliknya, ketika situasi ekonomi genting seperti ini dan memaksa bank sentral menambah pasokan dolar ke ekonomi, maka nilainya tertekan. Itu juga bisa membuat Tiongkok keringat dingin, karena sejumlah investasinya di luar negeri bersatuan dolar AS.
Bahwa teknologi menjadi faktor yang seolah-olah teramat penting, itu keliru. Sama halnya dengan Bitcoin. Benar karena teknologi blockchain-lah dan bersifat terbukalah ia unggul dibandingkan kelas aset lain, termasuk dolar. Namun, berkat dolar pulalah dia memiliki nilai, termasuk dengan mata uang fiat lain. Karena keunggulan relatif itulah Bitcoin juga diapresiasi selayak dolar dan emas.
“Dalam sudut pandang faham ekonomi Austria, Bitcoin memenuhi kriteria sebagai bentuk uang. Pasokan Bitcoin yang tetap dan terbatas dan ketahanannya terhadap inflasi adalah kunci keunggulan Bitcoin sebagai mata uang,” kata Ammous lagi.
Sekarang perhatikan seberapa banyak yuan digunakan secara global. Jikalau mengacu pada data SWIFT sebagai jaringan pembayaran global antar bank, dolar masih mendominasi, yakni mencapai 40 persen. Sedangkan yuan hanya 2 persen.
Ini adalah satu penanda bahwa tingkat “konversi bebas” yuan masih sangat terbatas, walaupun riak perdagangan internasional mereka mampu bersaing ketat dengan AS.
“Karena mata uang digital sedikit berbeda dari yuan itu sendiri, maka tidak akan menjadi pengubah permainan yang meningkatkan peran renminbi dalam keuangan internasional,” tulis Eswar Prasad, profesor di Cornell University.
Prasas mencatat, bagaimanapun, pemerintah Tiongkok masih membatasi arus masuk dan keluar modal dan PBOC masih mengelola nilai tukar renminbi.
“Tidak ada kebijakan yang akan berubah secara signifikan dalam waktu dekat,” katanya.
Victor Shih, seorang ahli ekonomi politik Tiongkok dan profesor di University of California San Diego, menjelaskan bahwa hanya dengan memperkenalkan mata uang digital “tidak menyelesaikan masalah bahwa beberapa orang yang memegang renminbi di luar negeri akan ingin menjual renminbi itu dan menukarnya dengan dolar.
Shih mencontohkan, misalnya Iran menjual minyak dalam jumlah besar ke Tiongkok, dan menerima yuan digital sebagai pembayaran. Itu akan membantu tujuan Beijing dalam mengejar penggunaan yuan yang lebih luas dalam transaksi internasional.
Tetapi Iran mungkin ingin menggunakan setidaknya seperempat dari pendapatan itu untuk membeli barang-barang dari Eropa, kata Shih, jadi mereka perlu mengubah sebagian dari yuan digital menjadi dolar dan euro, mata uang yang paling banyak digunakan kedua untuk pembayaran global.
“Jika itu terjadi dalam skala yang sangat besar, Anda akan memiliki ratusan miliar renminbi terakumulasi di Hong Kong, pusat kliring utama untuk transaksi dalam mata uang yuan. Dan jika yuan tersebut dikonversi ke mata uang lain dalam jumlah besar, renminbi akan berada di bawah tekanan ke bawah dan PBOC harus turun tangan untuk menopang nilainya,” sebut Shih.
Shih juga mengkritik soal sifat keterlacakan penuh yuan digital oleh Pemerintah Tiongkok. Katanya, salah satu keuntungan utama dari orang-orang yang menggunakan yuan digital adalah memungkinkan para bankir Tiongkok untuk melacak dengan tepat ke mana arah setiap yuan secara lebih rinci daripada yang mungkin saat ini.
“Jika Iran melakukan pembelian dengan penghasilan yuan digitalnya, misalnya, PBOC akan dapat melihat apa yang dibelinya, dan dari siapa, hingga satuan sen,” jelas Shih.
Namun hal itu justru dianggap buruk di negara lain, sebab ada banyak situasi ketika bahkan orang yang sangat taat hukum tidak ingin pemerintah mengetahui apa yang mereka lakukan, terutama ketika pemerintah itu adalah Partai Komunis Tiongkok.
Namun Shih menilai adanya potensi perluasan penggunaan yuan selain dalam konteks perdagangan internasional biasa, misalnya melalui produk teknologi asal Tiongkok seperti TikTok (ByteDance) dan Fortnite (Epic Games).
Dapat disimpulkan, bahwa yang dicari investor dalam mata uang cadangan (global reserve currency) bukanlah teknologinya, melainkan mata uang yang stabil, didukung oleh ekonomi yang kuat, dapat dikonversi secara bebas dan dapat digunakan secara luas.
Namun, itu semua sangat tergantung pada kebijakan pemerintah Tiongkok, termasuk bank sentralnya. Bahwa yuan digital bisa menebas dominasi dolar di masa depan, bukan masalah “kapan”, tetapi “bagaimana” dan “mengapa”. [red]