Michael Hartnett, Kepala Strategi Investasi di Bank of America Securities, yang terafiliasi dari Bank of America mengatakan, Bitcoin mungkin adalah biang dari segala gelembung investasi (mother of all bubbles).
Pernyataan kritis itu ia sampaikan ketika Bitcoin mencapai rekor tertinggi baru sepanjang masa, yakni lebih dari US$40 ribu per BTC pada pekan lalu.
Jikalau mengacu pada awal tahun 2019, maka kenaikan harga mencapai 1000 persen! Bahkan kurang dari sebulan terakhir sudah berlipat ganda. Intinya, lonjakan “tak normal” itu dipandang tak elok oleh sejumlah petinggi Wall Street.
Kendati bukanlah perbandingan apple-to-apple, Hartnett menyebutkan bahwa gelembung investasi Bitcoin melebihi gelembung di investasi lainnya dan mungkin saja pecah.
Ia membandingkan dengan lonjakan harga emas lebih dari 400 persen pada tahun 1970-an, mania investasi di Jepang tahun 1980-an, investasi saham di Thailand medio 1990-an dan gelembung dot com pada akhir tahun 1990-an dan investasi industri perumahan pada pertengahan tahun 2000-an dan pecah pada tahun 2008.
“Sektor-sektor itu semuanya menikmati persentase keuntungan tiga digit sebelum jatuh ke bumi,” sebut Hartnett.
Sebenarnya Hartnett tidak memprediksi bahwa harga Bitcoin akan anjlok. Sebaliknya, dia sekadar menegaskan bahwa investasi Bitcoin adalah contoh lain dari perilaku investasi yang semakin spekulatif.
Kritik senada juga datang dari Mike O’Rourke, Kepala Strategi Pasar di JonesTrading, dilansir dari CNN pekan lalu.
“Para pemburu Bitcoin tidak melindungi diri mereka sendiri terhadap kehancuran dolar. Mereka hanya membayar dua kali lebih banyak untuk sebuah aset, dibandingkan masa Thanksgiving,” katanya.
Namun, para penghayat Bitcoin tetap yakin bahwa harga Bitcoin dapat terus naik, seperti PayPal, Square, termasuk Paul Tudor Jones dan Stanley Druckenmiller.
Terkoreksi 22 Persen (Rp136 Juta)
Bitcoin terkoreksi lebih dari 22 persen sejak menyentuh harga puncak US$41.969,99 pada 8 Januari 2021 lalu. Per 11 Januari 2021 pukul 14.00 WIB, diperdagangkan di kisaran US$32.330,01. Bitcoin kehilangan nilai hingga Rp136 juta.
Dilansir dari Bloomberg hari ini, Howard Wang, salah seorang pendiri Convoy Investments LLC mengatakan bahwa tingkat pertumbuhan Bitcoin saat ini tidak berkelanjutan.
“Bitcoin hampir pasti berada dalam gelembung lain dan tingkat pertumbuhannya saat ini tidak berkelanjutan. Walaupun mungkin jatuh tempo di masa depan, Bitcoin seperti yang ada sebagian besar merupakan aset spekulatif,” kata Wang.
Bahkan Scott Minerd, Kepala Investasi Guggenheim Investments mengungkapkan, bahwa pasar saat ini memang sedang beraksi ambil untung alias profit taking.
“Kenaikan parabolik Bitcoin tidak berkelanjutan dalam waktu dekat,” tegas Minerd yang sangat bullish terhadap Bitcoin, karena diprediksi mencapai US$400 ribu. [red]